Bogor – bogorOnline.com
Sejumlah kandidat bakal calon Wali Kota Bogor untuk Pilkada 2018, hadir dalam acara Tablig Akbar Maulid Nabi Muhammad SAW dan Haul ke 31 Alm KH. Rd. Abdullah bin Nuh, dan Haul ke 7 Almh Hj. Mursyidah binti KH. Abdullah Sayuti, di Yayasan Islamic Center (YIC) Al Ghazali, Jalan Semeru, Kecamatan Bogor Barat, Ahad (26/11/17).
Para kandidat bacawalkot yang hadir diantaranya, calon incumbent Bima Arya, Zaenul Mutaqin yang juga Ketua DPC PPP, Ketua DPC PDIP Dadang Danubrata, Ketua DPD Golkar Tauhid J Tagor. Acara tablig akbar dihadiri juga oleh unsur Muspida Kota Bogor, para habaib, ulama, tokoh masyarakat, para santri pimpinan pondok pondok pesantren dan lainnya.
Putra alm KH Rd. Abdullah Bin Nuh yang juga pimpinan YIC Al Ghazali, KH Mustofa Abdullah Bin Nuh, menyambut kedatangan para tamu undangan di halaman YIC Al Ghazali. Dalam acara itu, terlihat tampak akrab antara Wali Kota Bima Arya dengan Zaenul Mutaqin, Dadang Danubrata dan Tauhid J Tagor. Bahkan ketika makan siang, empat orang tokoh yang sangat berpengaruh di Kota Bogor itu duduk bersama dalam satu meja.
Walikota Bogor Bima Arya dihadapan ribuan peserta tablig akbar mengatakan, menurut sosiolog yang sangat berpengaruh, Anthony Giddens bahwa globalisme dan partikularisme yang menyebabkan banyaknya konflik hanya dapat diredam, dilawan, dikelola, diminimalisir oleh pemikiran atau sosok yang nasionalismenya kosmopolitan. Bukan nasionalisme yang sempit, kelokalan atau nasionalisme yang luntur karena faktor global.
“Nasionalisme kosmopolitan adalah nasionalisme yang kuat, lokal, gagah nasional, gaul ditingkat global, tidak jago kandang, bicara cas cis cus berbagai berbahasa, luwes international, berwawasan luas dan menguasai berbagai ilmu. Itulah nasionalisme kosmopolitan,” kata Bima Arya.
Bima melanjutkan, kalau tadi kita menyimak biografi alm Mama Abdullah Bin Nuh yang sudah disampaikan, pemikiran Mama merupakan pemikiran nasionalisme yang cosmopolitan. Almarhum menguasai lima bahasa yang luar biasa. Bahkan beliau pernah menulis komunisme.
“Jadi kalau kita mau melawan komunis kita harus tahu apa anatomi komunis itu,” ujarnya.
Bima menyimpulkan, keluasan ilmu dari Mama Abdullah Bin Nuh, kelenturan berfikir dan tidak jumudnya cara berfikir Abdullah Bin Nuh itu membuat beliau menjadi sosok yang luas pergaulannya. Diterima berbagai kalangan dan tidak sembarangan mengkafirkan orang atau kelompok. ini keteladanan yang luar biasa nasionalisme yang bukan lagi cosmopolitan tetapi cosmopolitan plus spritualisme. Karena ada ideologi yang sangat kuat yang terkait dengan religius disana.
“Inilah yang saya sebut kekinian atau zaman now. Kalau mau disebut kekinian atau zaman now paling tidak kita harus terinspirasi untuk membuka wawasan kita, membuka horison kita dan mencerna berbagai pemikiran dan aliran yang berbeda tidak menutup pergaulan, sejauh mana kita meyakini koridor mana yang akan kita fokuskan. Kalau kita terinspirasi oleh pemikiran almarhum, oleh guru kita maka Bogor tidak akan menjadi kota yang penuh dengan pertentangan. Kota Bogor tidak akan menjadi sarang dari radikalisme, tempat penuh curiga, Kota Bogor adalah tempat yang diwariskan para guru kita sebagai tempat yang guyub, sejuk, nyaman dan damai. Karena para guru kita termasuk Mama Abdullah Bin Nuh mengajarkan tentang arti kebersamaan dalam keberagaman. Persatuan harus diperjuangkan sedangkan keberagaman adalah keniscayaan,” bebernya.
Apapun agenda kedepan mau Pilpres, Pilkada, Pilgub, Pilwalkot dan pil-pil lainnya, insha Allah bangsa kita tetap satu yaitu bersama dalam keberagaman dan kita tauladani ajaran dari Mama Abdullah Bin Nuh.
“Semoga keluarga besar Al-Ghazali tetap menjadi mata air yang menyejukan bagi Bogor yang damai,” ucapnya. (Nai)