Oleh : Nelly, M.Pd
Pegiat Opini Medsos, Pemerhati Kebijakan Publik
Lagi, penguasa di negeri demokrasi menunjukan ketidakkonsistennya dalam menerapkan sistem demokrasi. Padahal dalam negara demokrasi selalu digaungkan kebebasan menyatakan pendapat dan bersuara. Namun kenyataannya tidaklah seperti itu, kasus terbaru Ruslan Buton hanya karena menulis surat terbuka untuk presiden berujung penjemputan oleh aparat.
Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Fadli Zon angkat suara terkait upaya represif pemerintah membungkam suara kritis Ruslan Buton dengan menjemputnya secara paksa terkait surat terbuka yang berisi permintaan Jokowi turun dari jabatannya.
Fadli Zon sangat menyayangkan tindakan tersebut terkait dengan sistem negara Indonesia dengan asas demokrasi tapi tidak menghargai perbedaan pendapat. Menurutnya, penangkapan Ruslan Buton sangat berlebihan karena tidak tergolong tindakan kriminal atau pun makar. (Id.today)
Sebelumnya, juga ada kasus Ravio Patra, seorang peneliti kebijakan publik dan pegiat advokasi legislasi yang sering menyuarakan kritik-kritik terhadap jalannya pemerintahan ditangkap, (m.bizlaw.id). Ada juga aktivis dakwah Ali Baharsyah yang mengkritisi kebijakan penguasa berujung penangkapan. Publik juga pasti tidak lupa dengan kasus Habib Bahar, Jonru Ginting yang juga kritis pada penguasa dan berujung Bui.
Dari sekian banyak fakta yang terpampang nyata, terlihat penguasa hari ini semakin menampakkan sikap anti kritiknya meskipun mereka selalu mengelak demi menegakkan hukum. Kritik menjadi salah satu ancaman yang dianggap berbahaya bagi kelangsungan kekuasaan.
Hal ini dipertegas, dengan banyaknya produk undang-undang yang dibuat dimana mengarah kepada nuansa anti kritik. Lahirnya UU ITE, Perpu ormas dan yang terbaru tentang RKUHP dalam Pasal 218 dan 219 tentang Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan Wakil Presiden adalah beberapa produk hukum yang sedikit banyak mengekang demokrasi di negeri ini.
Sekali lagi, demokrasi yang katanya kebebasan itu sendiri patut untuk dipertanyakan, ataukah hanya sekedar jargon. Semua produk hukum ini pada akhirnya dimanfaatkan penguasa untuk menjerat mereka yang kritis terhadap kekuasaan para tuan puan itu. Bahkan sangat terlihat refresif, sebab tanpa harus menunggu proses hukum, mereka yang krtitis ditangkap dan dipenjarakan.
Tak salah jika rezim penguasa saat ini juga dianggap sama dengan rezim orde baru yaitu sama-sama anti kritik, membungkam suara-suara kritis, mengkriminalisasi pihak-pihak yang kritis. Dengan dalih dan alasan katanya demi stabilitas politik, keamanan dan ketertiban umum.
Menurut Feri Kusuma (Wakil Koordinator Kontras) bahwa rezim penguasa saat ini adalah orde baru dengan gaya baru. Rezim penguasa berlindung di balik pasal-pasal “penghinaan” , “pencemaran nama baik”, “berita bohong” dan “makar” untuk mengkriminalisasi pihak-pihak yang kritis terhadap segala kebijakan mereka.
Mengutip apa yang disampaikan pakar hukum tata negara, Margarito, bahwa kritikan terhadap kebijakan pemerintah bukan lah merupakan tindak kejahatan. Sehingga, hal itu tidak bisa dipidanakan oleh kepolisian.
Harusnya para pemimpin itu harus terima semua nasehat maupun kritik dari rakyatnya. Sebab kritik adalah bagian dari sikap peduli dari rakyat untuk kebaikan negeri, bukan bagian dari kebencian. Pemimpin itu tugasnya mengurus rakyat, menjalankan amanah melindungi rakyat dan tanggungjawab dalam menjaga keamanan dan memenuhi semua kebutuhan rakyatnya. Jika ada yang tidak pas dalam kepemimpinaannya menjadi suatu hal yang wajar jika rakyat mengkritik penguasa.
Namun dengan kondisi ini semua semakin membuktikan ketidakkonsistenan demokrasi yang menjadi asas negeri ini. Disatu sisi demokrasi katanya menjunjung tinggi kebebasan mengeluarkan pendapat namun disisi lain demokrasi justru membuka peluang untuk melahirkan pemimpin anti kritik.
Hal ini dikarenakan kekuasaan atau kepemimpinan adalah alat untuk memuluskan kepentingan individu atau kelompok tertentu. Pada akhirnya lahirlah kekuasaan yang anti kritik yang memaksakan kehendaknya demi melanggengkan kekuasaanya itu. Rakyat dipaksa tunduk dan patuh kepada kebijakan-kebijakan mereka. Ketika ada yang mencoba mengkritik atau tidak sepaham dengan mereka, mereka dianggap membahayakan negara.
Artinya, kapitalis demokrasi yang diterapkan negeri ini ini sejatinya sistem rusak, tidak menusiawi. Bukan sistem negara yang harus di pertahankan apalagi masih di agung-agungkan.
Kondisi yang sangat jauh berbeda dengan sistem kekuasaan Islam. Muhasabah, kritik adalah pondasi dalam tegaknya negara. Dalam hal ini penguasa (Khalifah) adalah wakil umat untuk melaksanakan hukum syariat. Rakyat berhak memuhasabah bahkan rakyat bisa saja memberhentikan khalifah selaku kepala negara jika dinilai melanggar hukum syariat.
Didalam politik Islam seorang Khalifah (penguasa) bukanlah orang yang otoriter yang anti terhadap kritik dari rakyatnya sebab seorang Khalifah adalah wakil ummat untuk mengurusi urusan kehidupan manusia & sekaligus penjaga aqidah & syari’ah.
Seharusnya seorang penguasa haruslah siap untuk dikritik atas kepemimpinannya. Berkaca dari kepemimpinan para shahabat mereka adalah rezim yang suka dikritik. Khalifah Abu Bakar selaku pemimpin pertama negara Islam pasca wafatnya Rasulullah menerima amanah Khalifah dengan berat dan penuh ketakutan pada Allah.
Dalam pidato pertamanya pasca menerima bai’at, ia berpidato dengan sebuah pidato yang masyhur. Dalam pidato tersebut, bahkan sebelum menasehati rakyatnya, ia terlebih dulu meminta nasihat rakyatnya. Padahal beliau adalah kekasih Rasulullah dan sahabat baiknya yang tentunya ketakwaannya kepada Allah dan pemahamannya terhadap wahyu bisa dikatakan terbaik dibanding rakyatnya.
Rezim penguasa saat ini seharusnya belajar dari Amirul Mukminin Umar bin Khatab. Umar mau dikritik dan mengakui kesalahannya di hadapan umat. Tidak ada namanya kriminalisasi bahkan perlakuan keji kepada rakyatnya yang menyampaikan kritik atas kebijakan yang dirasa zalim.
Muhasabah terhadap penguasa merupakan adalah bagian dari syariah Islam yang agung. Seorang pemimpin yang beragama Islam harusnya tak perlu alergi kritik. Apalagi sampai membungkam siapa saja yang tidak sejalan dan kritis atas kebijakannya dengan ancaman bui.
Wallahu a’lam bis shawab