Kerumunan Surga Neraka

Catatan Redaksi2.3K views

Suatu hari di neraka ada yang protes, “kenapa saya dimasukan ke neraka?,” di jawab “karena kamu berkerumun“. Ada juga yang protes, “kenapa saya dimasukan ke neraka?, saya kan hanya melaporkan orang yang berkerumun!,” di Jawab, “karena kamu melaporkan orang yang berkerumun berdasarkan kebencian, bukan untuk tegaknya kesehatan“.

Dialog imajiner tersebut disampaikan Budayawan, Sujiwo Tejo dalam acara diskusi yang ditayangkan salah satu stasiun televisi nasional beberapa waktu lalu. Ia mencoba mengungkapkan kekesalannya terhadap sikap abai terhadap protokol kesehatan yang dilakukan salah satu kelompok massa pada penjemputan kepulangan salah tokoh yang mereka idolakan MRS, pada 10 Nopember 2020 di Bandara Soekarno-Hatta dan juga acara keagamaan yang melibatkan tokoh tersebut karena menimbulkan kerumunan massa. Di sisi lain, ia juga mengingatkan pihak yang melaporkan kerumunan karena kebencian yang dialamatkan kepada MRS, pengikut dan simpatisannya.

Apa yang diungkapkan Tejo, barangkali mewakili perasaaan sebagian besar anak bangsa yang mencoba bersikap objektif dalam melihat persoalan tersebut. Harus disadari, upaya menghadapi pandemi covid-19 ini dilakukan dengan banyak pengorbanan. Petugas kesehatan, relawan, aparatur pemerintah, petugas keamanan telah berjibaku untuk menekan resiko penularan covid-19. Tidak sedikit mereka yang berada dalam garda paling depan menjadi korban meninggal karena terpapar virus tersebut. Ada anggota keluarga yang sampai saat ini berusaha ikhlas ditinggal anggota keluarga yang disayanginya. Sampai hari ini, pandemi masih belum terkendali.

Maka, sebagian kita yang awam dan berusaha waras menyikapi fenomena ini, suka tidak suka harus mengikuti anjuran pemerintah mengadaptasi kebiasaan baru. Memakai masker, menjaga jarak, dan tidak berkerumun, menjadi beberapa hal yang untuk sebagian besar kita tidak biasa. Tapi ini menjadi pilihan bersama, meskipun konsekuensinya cukup berat. Di masa awal pandemi, bahkan kita terpaksa ‘mengurung’ diri di rumah. Aktivitas ekonomi terhenti, dan sebagian kita kehilangan mata pencaharian. Data yang dirilis pemerintah dampak covid-19 ini membuat 2,67 juta orang kehilangan pekerjaan.

Tentu saja, jika tetiba ada kelompok orang yang mengabaikan protokol kesehatan dengan berkerumun untuk sesuatu yang sebetulnya bisa dihindari akan membuat kita jengkel. Dalih apapun tidak bisa membenarkan perilaku tersebut. Seandainya ada kelompok yang menganggap covid-19 hanya rekayasa, maka sikap menghormati usaha mayoritas yang sampai saat ini masih berusaha bangkit dari pandemi harus tetap dikedepankan.

Akan tetapi, protes sebagian orang atas perilaku seenaknya tersebut tidak boleh berlandaskan kebencian personal. Kita harus sadar, musuh bersama kita bukan orang perorang, tapi virus tak kasat mata yang telah menyengsarakan kehidupan banyak orang. Kebencian yang kita pelihara, sejatinya tidak akan mengangkat kebenaran yang hari ini menjadi barang yang amat mahal. Kebencian hanya akan menambah durasi permusuhan, dan melahirkan kebencian baru yang semakn menjauhkan kita pada nilai kebenaran.

Oleh karena itu, sikap jumawa dan merasa yang paling benar harus dibuang jauh. Kita tidak ingin kerumunan dunia yang abai pada nilai kemanusiaan ini akan berlanjut pada kerumunan neraka sebagai tempat penghukuman. Bukankah lebih indah kalau kita mengerumuni kebaikan dunia dan berkerumun kembali di surga?

Saeful Ramadhan

 

 

ARTIKEL REKOMENDASI

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *