Pernyataan Saksi Ahli dari Kubu 02 di Sidang Sengketa Pemilu 2024 Picu Masyarakat Kabupaten Bogor Kembali Tercengang, Ini Penjelasannya

foto: Edward Omar Sharif Hiariej. (net)

BOGORONLINE.COM – Usai ramainya pernyataan Edward Omar Sharif Hiariej yang menjadi saksi ahli dari kubu 02 Prabowo-Gibran dalam sidang sengketa Pemilu 2024 di Mahkamah Konstitusi (MK), membuat sebagian masyarakat tercengang.

Pasalnya, pernyataan pria kelahiran Kota Ambon 1973 itu menyatakan mulai awalnya bahwa sesungguhnya mempersoalkan hal-hal yang bukan menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi.

Artinya, kalau MK ini diminta untuk mengadili sesuatu yang diluar kewenangannya sesungguhnya kuasa hukum Pasangan Calon (Paslon) 01 dan Paslon 03 memaksa mahkamah konstitusi untuk melanggar apa yang disebut sebagai asas yuridigitas.

“Yang berarti bahwa mahkamah atau pengadilan tidak boleh memutus sesuatu yang berada diluar kewenangannya,” ucap pria mantan Wamenkumham RI tersebut, saat menjadi saksi ahli disidang sengketa pemilu 2024 di Mahkamah Konstitusi, pada Kamis (04/4/2024) lalu.

Adapun pernyataannya yang membuat masyarakat di Kabupaten Bogor khususnya menjadi terheran-heran, yakni ungkapannya mengenai peraturan dibawahnya yang bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi maka sesungguhnya sifat dari peraturan yang dibawahnya itu bukannya dapat diminta pembatalan tapi dia bersifat niftah atau ‘Batal Demi Hukum’.

Dengan begitu, ungkapannya itu sangat berkaitan dengan peraturan daerah (perda) yang dimiliki oleh Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bogor terkait Bea Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) atas peraturan daerah Kabupaten Bogor nomor 15 tahun 2010, dan peraturan Bupati (Perbup) nomor 78 tahun 2010 tentang BPHTB yang ketentuan kedua prodak hukum milik Pemkab Bogor ini diduga melebihi dari UU nomor 28 tahun 2010 tentang BPHTB.

Karena yang terjadi di Kabupaten Bogor, masyarakat diharuskan membayar pajak BPHTB sesuai harga pasaran yang sudah ditetapkan dan bukan dari nilai transaksi jual beli.

Badan Pengelolaan Pendapatan Daerah (Bappenda) Kabupaten Bogor, tidak mengacu pada Undang-Undang (UU) BPHTB dalam penetapan besaran pajak tersebut, melainkan dasar informasi hasil penelitian dan estimasi kurang bayar, sesuai yang ditetapkan oleh Perda dan Perbup.

“Kalau melihat UU BPHTB, jelas dugaan kecurangan itu, warga dipaksa membayar pajak oleh Dispenda sesuai Perda dan Perbup, padahal kalau mengacu UU BPHTB harga yang dibayarkan warga sesuai nilai transaksi,” ujar ketua Bogor Anti Corruption Organisation (BACO), Rahmatullah kepada kupasmerdeka.com, yang dikutip wartawan media ini, Sabtu (06/4/2024).

Lebih lanjut Rahmatullah menjelaskan bahwa ini berarti selama puluhan tahun telah terjadi kecurangan pembayaran BPHTB di Bumi Tegar Beriman.

“Pemerintah daerah harus bertanggung jawab, karena mereka yang membuat Perda dan Perbup yang tidak mengacu pada UU BPHTB,” tegasnya.

Dari data yang dihimpun media Kupasmerdeka.com yang dikutip media ini juga, dalam beberapa contoh pada bagian nilai objek jual beli ditandatangani oleh Atep sebagai peneliti di Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) Kabupaten Bogor, dimana Perda yang dirujuk adalah Perda Nmr 15 Tahun 2010 serta Perbup Nmr 78 Tahun 2010, pada kala itu.

Dalam artiannya juga, yang membuat rancu adalah dalam Perda dan Perbup tersebut secara kilas jika jual beli tanah di Bumi Tegar Beriman yang dibayar bukan merujuk kepada nilai transaksi melainkan harga pasaran dimana letak tanah itu berada. Jadi selama ini masyarakat Bumi Tegar Beriman atau Wajib Pajak (WP) harus merogoh kantong lebih dalam untuk membayarkan biaya pajak BPHTB di kantor Bappenda Kabupaten Bogor.

Dikarenakan, bila ada WP yang tengah mengurus pembayaran pajak tersebut, dengan merujuk kepada harga transaksi sesuai yang tertera dalam kwitansi sebagai alat sah jual beli kedua belah pihak, maka pihak Bappenda Kabupaten Bogor tak akan langsung percaya dan melakukan pengecekan ke lokasi objek tanah yang dimohonkan.

Dengan begitu, bila hasil transaksi jual beli yang menjadi acuan dari WP (Pemohon) itu berbeda dengan harga pasaran tanah di lokasi objek yang dimohonkan atau lebih rendah harganya. Maka juga, pihak Bappenda Kabupaten Bogor ini akan langsung memberikan surat berupa catatan pajak terhutang kepada WP tersebut, jika tidak melunasi maka validasi BPHTB yang dimohonkan tidak akan disahkan dalam pengurusan surat jual belinya yang tengah diurusnya di salah satu Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) atau notaris di Bumi Tegar Beriman, tidak akan selesai.

Hal tersebut pun, hingga kini Perda dan Perbup di Kabupaten Bogor jelas-jelas bertentangan dengan UU BPHTB pasal 28 huruf (a) ayat (1).

Sementara pada ayat (2) disebutkan nilai perolehan objek pajak sebagai mana dimaksud pada ayat (1) dalam hal, (a) jual beli adalah harga transaksi.

Dan Hal ini pun sudah terjadi sejak bertahun-tahun lamanya yang terkesan dibiarkan oleh pemangku kepentingan di daerah tersebut, yang dalam dalihnya demi memenuhi target Pendapatan Asli Daerah (PAD) pada Badan Pengelolaan Pendapatan Daerah Kabupaten Bogor yang menaungi.

Ketika perihal ini pernah dikonfirmasi oleh wartawan media yang menulis berita ini pada 2015 silam, dimana saat mengkonfirmasi di era Bupati Bogor Hj Nurhayanti dan Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Bogor yaitu dijabat seorang Adang Suptandar. Sekda Adang Suptandar menjawab, “Silahkan hal tersebut tanyakan langsung pada pejabat terkait yakni Teuku Mulya (kini, Kepala Dinas Perumahan Kawasan Permukiman dan Pertanahan/DPKPP) selaku Kabid yang membidanginya,” singkatnya saat itu.

ARTIKEL REKOMENDASI

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *