EGOISME IBADAH, MENYEMBAH KITA

 

Pemerintah hingga hari ini masih membatasi berbagai aktifitas masyarakat yang mengumpulkan orang banyak. Langkah ini diambil sebagai salah satu upaya untuk menahan laju pertambahan kasus Corona Virus Disaese (COVID-19) yang telah merenggut banyak korban jiwa.

Tempat hiburan ditutup, pusat perbelanjaan ditutup, aktifitas produksi di pabrik-pabrik banyak yang ditutup, lembaga pendidikan juga diminta untuk melakukan kegiatan belajar dan mengajar dari rumah, dan aktifitas berjamaah di tempat-tempat peribadatan semua agama juga diminta untuk ditiadakan dan diganti dengan peribadatan dari rumah. Bukan hanya di kuil, Vihara, Gereja, dan Masjid di lingkungan kita, tapi juga pembatasan terjadi terjadi di kiblat umat beragama dunia, seperti Vatikan, Tembok Ratapan, hingga Masjid Nabawi dan Masjidil Harom di tanah suci umat Islam.

Kebijakan ini mau tidak mau, suka atau tidak suka terpaksa harus dituruti. Namun, untuk bagian yang terakhir, sampai hari ini masih menimbulkan perdebatan. Manusia yang merasa dirinya paling taat dalam beragama menjadi bagian yang paling bandel dan susah diatur, terutama di sebagian kalangan umat Islam.

Imbauan untuk sementara waktu meniadakan kegiatan ibadah berjama’ah, seperti sholat, pengajian, dan ibadah lainnya ditafsiri macam-macam dan dibentur-benturkan dengan kecemasan hatinya sendiri. Ada yang memang merasa takut kalau ibadah berjamaah ditiadakan akan menghilangkan keberkahan. Ada juga yang mengkaitkannya dengan politik kepentingan. Dianggapnya, kebijakan ini bertentangan dengan ajaran agama.

Perbedaan pandangan ini sangat berpotensi pada gesekan fisik. Satu contoh misalnya, salah satu warga di lingkungan Masjid di Kota Tangerang pada Jum’at pekan kedua April kemarin, mendatangi Masjid dan melayangkan protes pelaksanaan ibadah sholat Jumat yang tetap dilaksanakan meski sudah ada imbauan dari Pemerintah. Dia dengan tegas meminta agar pengurus Masjid membatalkan ibadah sholat Jumat berjamaah tersebut. Waktu itu jamaah sudah berkumpul dan azan sudah dikumandangkan.

Sontak, permintaan ini mendapat pertentangan dari sebagian jamaah yang akan mengikuti sholat Jumat di Masjid tersebut. Mereka beradu argumen di depan pintu Masjid.   Pihak yanga menolak merasa ibadah berjama’ah ini akan mengundang kemudharatan karena berpotensi saling menularkan virus. Dia bilang, ibadah harus didasari dengan ilmu. Orang ini belakangan diketahui memang sangat menekuni ilmu agama. Dia menuntut ilmu hingga ke Negeri Mesir.

Sementara yang keukeuh ingin melaksanakan sholat Jumat berjamaah berpandangan justru sholat Jumat ini sebagai sarana untuk berdoa dan diselamatkan dari ganasnya wabah. Dia juga mengaku pandangannya berdasarkan ilmu plus ketaatan akan perintah Allah SWT. Orang ini juga punya giroh ibadah yang luar biasa.

Tentu, jika kita biarkan mereka berdebat terus di depan pintu Masjid, sampai ketemu hari Jumat berikutnya tidak akan menemukan kesamaan pandangan. Sampai urat lehernya putus karena bersitegang, juga tidak akan menemukan persepsi yang sama.

Siapa yang salah? tulisan ini tidak untuk memvonis siapa benar siapa salah. Tetapi semestinya kejadian tersebut tidak perlu terjadi seandainya untuk sementara waktu kita sama-sama menyadari betapa lemahnya kita, menyadari kita sedang  menghadapi  pandemi yang luar biasa. Kita menyadari setiap kita punya potensi tertular dan punya potensi menularkan virus Corona. Kita menyadari langkah yang kita lakukan bukan hanya tentang diri kita sendiri, tetapi orang-orang di sekitar kita. Karena itu perkumpulan-perkumpulan yang sangat potensial menularkan virus, akan kita hindari.

Setidaknya, ada beberapa alasan untuk membangun kesadaran bersama itu, kesadaran berjamaah. Pertama, imbauan untuk tidak menggelar sholat Jumat berjamaah merupakan keputusan bersama pemerintah dan melibatkan ulama-ulama yang selama ini fatwanya menjadi rujukan. Ada pertimbangan rasional baik secara medis maupun kaidah keagamaan. Keputusan juga diambil dengan mengutip dalil agama dari ayat suci Al-Qur’an, hadist, Ijma ulama, qiyash dan contoh yang dilakukan umat terdahulu dalam menghadapi hal serupa. Kebijakan juga diambil dari kutipan dalil-dalil kemanusiaan. Untuk kemaslahatan bersama.

Karena itu, sebagai warga negara yang baik dan umat beragama yang baik, ketaatan pada pemimpin adalah hal yang juga diajarkan oleh agama.

Kedua, imbauan ini tidak bersifat permanen, jika kondisinya sudah kondusif pasti akan diberlakukan lagi. Dan sepertinya, tidak ada negara yang sangat membebaskan umat Islam mengekspresikan ibadahnya seperti di Indonesia, bahkan Arab Saudi sekalipun.

Sesekali, ustad yang selama ini menjadi figur untuk memakmurkan Masjid harus melihat ikhtiar orang lain dalam menjaga kemaslahatan bersama tanpa memandang agamanya apa. Sampai hari ini, tenaga medis yang dikatakan sebagai garda terdepan memerangi corona berjuang mengorbankan waktunya dan bahkan nyawanya. Sudah banyak yang meninggal dunia karena perjuangannya mengobati pasien. Tentu itu demi kebaikan kita bersama. Sementara hingga hari ini jumlah pasien yang datang untuk dirawat dan diobati semakin hari semakin bertambah banyak.

Sejujurnya, Mereka berharap agar tidak ada penambahan pasien lagi dan itu bisa dilakukan kalau masyarakat sadar untuk menjaga diri masing-masing, salah satunya dengan menjaga jarak fisik, karena inilah yang berdasarkan kajian ilmiah menjadi sarana yang potensial dalam penularan virus Corona. Karena itu, sebenarnya dalam memerangi wabah ini, masyarakatlah yang berada di garis depan. Tenaga kesehatan adalah benteng terakhir yang berperan jika pertahanan kita untuk tidak tertular jebol.

Sesekali, tokoh agama yang menjadi figur memakmurkan Masjid juga harus melihat masyarakat yang saat ini sedang menghadapi banyak kesulitan dalam memenuhi hajat hidupnya sehari-hari. Mereka kehilangan pekerjaan, kehilangan sumber pendapatan dan ini terjadi bukan hanya di kampung kita, bukan hanya di kota kita, bukan hanya di negara kita, tapi juga terjadi hingga ke pelosok-pelosok negara lain.

Dan sesekali, kita harus melihat diri kita sendiri. Apakah selama ini segala ritual yang kita sebut sabagai ibadah memang tujuannya lilahi ta’ala. Atau hanya untuk memegahkan bangunan tempat peribadatan, atau barangkali hanya untuk melabeli diri kita sebagai kyai, ustad, tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh pemuda dan mempertahankan pengaruh serta popularitas tersebut.

Sikap abai kita terhadap intruksi, imbauan pemerintah dalam kasus ini dengan ‘memperkosa’ dalil agama adalah wujud egoisme ibadah. Barangkali egoisme itu yang sedang kita sembah.

Sikap abai kita terhadap kesulitan hidup dan keselamatan jamaah juga wujud egoisme ibadah. Barangkali kita sedang menuhankan pengaruh dan popularitas kita.

Barangkali kita merasa hanya melalui perantara kita doa-doa akan diijabah. Lalu, dengan sombongnya kita membangkang dan merasa dengan menjaga jarak untuk ibadah dan berdoa bersama yang saat ini dianjurkan pemerintah, aji-aji kita menjadi tidak ampuh. Kalau benar begitu, sepertinya kita sedang menuhankan diri kita sendiri.

Saeful Ramadhan

ARTIKEL REKOMENDASI

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *