Jangan engkau seperti iblis, hanya melihat air dan lumpur ketika memandang Adam. Lihatlah dibalik lumpur, beratus-ratus ribu taman yang indah.
Maulana Jalaludin Rumi
Dawuh Jalaludin Rumi, yang hidup di abad ke 13 Masehi semakin relevan untuk kita jadikan cermin melihat keadaan kita saat ini.
Terkadang, dengan mengagungkan kebenaran persepsi, kita memandang remeh, bahkan menghinakan orang lain. Seolah-olah kebaikan tidak ada pada orang yang tidak kita sukai, atau pada individu yang dulu kita sukai kemudian kita benci. Lalu setengah mati kita lekatkan kehinaan pada orang tersebut, seolah tidak ada setitik pun kebaikannya sama sekali.
Karakter demikian, kata Rumi, adalah karakter iblis. Saat diminta memberi penghormatan kepada Adam, Iblis menolak karena memandang Adam adalah air bercampur lumpur yang sangat kotor. Lalu dengan membanggakan api, iblis merasa dirinya murni, dan diliputi kebaikan. Dan merasa dirinya mulia, dan paling dekat dengan Tuhan. Iblis barangkali merasa persepsinya benar, namun kebenaran yang dia yakini berlawanan dengan hakikat dari kebenaran itu sendiri.
Rumi, mengajak kita untuk melihat hakikat dari apa yang tersirat. Melihat sesuatu tidak hanya yang muncul di permukaan. Beratus ribu taman yang indah di balik lumpur, merupakan kiasan bahwa ada keindahan, kebaikan, bahkan manfaat pada sesuatu yang kotor sekalipun, juga pada individu yang kita anggap paling jahat di dunia ini.
Dalam konteks kekinian, bisa jadi kita merasai diri kita pada jalan kebenaran lalu menempatkan posisi kita seperti iblis memandang Adam. Mulut kita bisa jadi melafalkan dalil-dalil kebenaran, tapi buruk sangka dan kesombongan terus saja melebarkan ruang kehinaan.
Kita boleh jadi merasa sedang berjuang menegakkan kebenaran. Tapi, kesombongan yang menjadi peringai iblis dalam perilaku membuat kita semakin menjauh dari nilai-nilai kebenaran.
Berhati-hatilah jika kebahagiaan kita dapat dari menghina orang lain, juga jika kesenangan kita dapat dengan merusak kebahagiaan orang lain. Jika yang demikian menjadi tujuan dari apa yang kita sebut buah dari perjuangan, rasanya kita sama seperti iblis yang bahagia menjerumuskan Bani Adam sebanyak-banyaknya masuk ke dalam neraka.
Satu hal yang rasanya harus kita renungi, kebenaran persepsi yang diagung-agungkan oleh iblis sama sekali tidak membawa kemuliaan pada dirinya. Sebaliknya, sifat seperti itu yang menjadi musabab Tuhan melabelinya sebagai makhluk yang ingkar, bahkan menjerumuskannya pada kehinaaan, dan juga menjadikan dirinya sebagai musuh yang nyata dari kebenaran.
Kebenaran Perspektif dan Kebahagiaan
Seorang bijak berpandangan, kebenaran itu soal perspektif, siapa yang menggenggamnya. Tetapi kebahagian itu soal siapa yang mampu memberi dan merawat kehidupan.
Ada cerita yang indah soal perspektif kebenaran dan kebahagiaan. Seorang pemuda mengajak laki-laki tua bertaruh untuk menebak apakah seekor kupu-kupu yang ada dalam genggaman tangannya masih hidup atau sudah mati.
Lelaki tua yang diajak bertaruh menjawab bahwa kupu-kupu dalam genggaman anak muda itu pasti sudah mati. Lalu, sang pemuda membuka genggaman tangannya dan terbanglah kupu-kupu yang digenggamnya tadi.
Mendapatkan hasil tebakan itu, lelaki tua tertawa bahagia. Tentu hal tersebut membuat si anak muda merasa heran, orang yang dikalahkannya dalam taruhan justru merasa bahagia.
Rupanya, saat diajak bertaruh, si lelaki tua justru melihat ada nyawa makhluk hidup terancam dalam genggaman anak muda. Jika saja ia menebak kupu-kupu itu masih hidup, sangat mungkin si pemuda akan meremasnya hingga mati hanya untuk mendapatkan kebenaran fakta yang diliputi nafsu kemenangan.
Kesimpulannya, pemuda tersebut hanya mendapat kebenaran persepektif. Sementara si pria tua, mendapat kebahagiaan karena menyelamatkan satu makhluk Tuhan dari ancaman kematian. Dia diliputi cinta dan kasih sayang.
Satu lagi, kisah indah tentang pentingnya kita menjaga prasangka. Seorang lelaki tua yang sedang berjalan-jalan di tepi Sungai, tak sengaja melihat seorang pemuda yang sedang asyik duduk berduaan dengan seorang perempuan.
Di samping mereka tampak sebotol arak menggeletak. Melihat pemandangan semacam itu, pria tua itu berbisik dalam hatinya, “Alangkah buruk akhlak orang itu dan alangkah baiknya kalau dia seperti aku!”
Tidak lama kemudian, dia melihat ada perahu yang melintas di sungai tersebut dengan membawa beberapa orang. Tiba-tiba perahu tersebut oleng dan terbalik. Orang-orang di atasnya tercebur tenggelam.
Lelaki yang duduk di tepi sungai tadi segera bangkit dan terjun ke sungai untuk menolong para penumpang yang hampir tewas tenggelam. Enam dari tujuh penumpang berhasil ia diselamatkan.
Sesaat kemudian, sambil mencari posisi orang ke tujuh, ia berpaling ke arah orang tua itu dan berkata, “Jika engkau memang lebih mulia daripada saya, maka dengan nama Allah, selamatkan seorang lagi yang belum sempat saya tolong.”
Pria itu terdiam mendengarkan sindiran tersebut. Ia sadar, laki-laki yang tadinya ia pandang dengan jijik itu ternyata telah menyelamatkan enam orang, sedangkan ia sendiri yang merasa lebih mulia, tidak mampu menyelamatkan satu nyawa saja.
Pemuda itu kemudian menjelaskan kepada pria tua tersebut.
“Tuan, sebenarnya perempuan yang duduk di samping saya ini adalah ibu saya sendiri, sedangkan botol itu hanya berisi air biasa, bukan anggur atau arak. Bungkusnya saja yang terbuat dari botol bekas anggur.”
Pria tua menangis mendengar teguran laki-laki tersebut. Kemudian ia berkata, “Kalau begitu, sebagaimana engkau telah menyelamatkan enam orang tadi dari bahaya tenggelam di sungai, maka selamatkanlah saya dari tenggelam dalam kebanggaan dan kesombongan.” (*)
Saeful Ramadhan