Bencana dan Ironisnya Kita

Gempa bumi yang terjadi di Kabupaten Pidie, DI Aceh, Rabu 7/12 yang sementara ini telah menelan korban sebanyak 25 orang tewas dan ratusan orang  luka serius, mengoyak batin kita rakyat Indonesia. Yang memprihatinkan kebanyakan korban meninggal dan luka-luka tersebut tertertimpa reruntuhan bangunan. Suatu hal yang mestinya dapat kita hindari dengan rekayasa bangunan yang merespon kecenderungan alam.

Deputi Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan BNPB, Bernadus Wisnu Widjaja mengatakan, kerusakan bangunan yang terjadi di Kabupaten Pidi Jaya itu karena masih belum menggunakan kontruksi tahan gempa. Mengingat gempa bumi di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) itu bukan yang pertama kali terjadi. Aceh, kata dia, merupakan daerah yang rawan terjadi bencana gempa bumi. “Kami sudah siapkan peta risiko, pemerintah daerah memahami hal itu. Kontruksi itu sudah ada di dinas pekerjaan umum dan itu bisa menyelamatkan masyarakat karena gempa itu tidak membunuh,” kata Wisnu, kepada wartawan.

Berdasarkan hasil analisis Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), gempa bumi yang terjadi di Kabupaten Pidie Jaya tersebut adalah gempa bumi tektonik dengan kekuatan 6,4 SR. Pusat gempa terdeteksi di 5,25 lintang (LU) utara dan 96,24 bujur timur (BT), tepatnya di darat pada jarak 106 km arah tenggara Kota Banda Aceh pada kedalaman 15 km.

Menurut Kepala Badan Geologi Ego Syahrial, Aceh masuk zona merah gempa. Artinya, wilayah tersebut rawan bencana gempa. Wilayah Aceh memiliki banyak sesar aktif. Apalagi wilayah yang menjadi ujung barat Indonesia ini berada pada ujung dari pergerakan lempengan bumi. Secara regional, Aceh terletak di ujung pergerakan pertemuan lempeng, yakni antara lempengan Hindia, Australian, dan Asia. Status lempengan tersebut terus aktif bergerak.

Gempa bumi di atas merupakan salah satu bencana alam dari sekian bencana alam yang terjadi di wilayah Indonesia yang rawan bencana dan yang selalu mengancam. Bencana alam pun bukan hanya gempa melainkan pula longsor dan bahkan banjir yang tidak sedikit menimbulkan kerusakan dan menelen korban. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) memperkirakan sekitar 17,2 persen (hampir 50 juta jiwa) penduduk nasional terancam langsung oleh bahaya longsor sedang – tinggi. Tentunya, sebagian besar penduduk yang terncam tersebut  tidak memiliki kemampuan menghindar dan memproteksi dirinya dari bahaya longsor. PNPB pun mencatat sepanjang tahun 2016 hingga bulan Agustus telah terjadi lebih dari 1000 bencana alam yang melanda Indonesia, lebih dari 60% terjadi di Pulau Jawa.  Longsor mengakibatkan 38.506 orang menderita dan mengungsi, 1.069 rumah rusak berat, 987 rumah rusak sedang, 926 rumah rusak ringan, dan puluhan bangunan umum rusak.  BNPG memprediksi kejadian longsor ini masih akan terus bertambah mengingat potensi longsor makin meningkat.

Berbagai musibah di atas tentunya telah membuat kita prihatin dan ikut berbela sungkawa. Namun tentunya pula kita harus berikhtiar agar ke depan terhindar dari korban bencana seperti di atas, dan jangan terjadi hal yang lebih ironis lagi, karena banyak bencana yang semestinya dapat dihindarkan atau setidaknya kita bisa meminimalisir jatuhnya korban nyawa. Untuk itulah, kiranya pemerintah harus bersungguh-sungguh dalam menyosialisasikan UU Penanggulangan Bencana, yang tentunya disertai pula dengan tindakan nyata, seperti mengatasi atau mengurangi daerah yang rawan longsor dan banjir. Juga kalau daerah rawan gempa maka pemerintah perlu berusaha agar pembangunan di daerah tersebut disesuaikan dengan standar ketahanan terhadap guncangan gempa.

 

Saeful Ramadhan

Pimpinan Redaksi

ARTIKEL REKOMENDASI