Yayat Supriyatna
(Penulis Adalah Praktisi Pendidikan Indonesia Tinggal di Kabupaten Bogor)
Belakangan kita disuguhkan dengan hiruk pikuk wacana ”radikalisme-islam” ini kelanjutan dari wacana ”fundamentalisme-islam” pada tahun 90 an. Dari wacana ini lahirlah kebijakan seritikasi bagi para Ulama / Mubaligh. Kebijakan ini untuk memastikan bahwa para Mubaligh merupakan juru dakwah yang mengusung islam rahmatanlil’alamin. Islam yang sejuk, damai, dan moderat. Melalui kebijakan ini, umat Islam merasa terus dicurigai sebagai entitas yang selalu merongrong dan mengganggu pemerintahan
Menurut Jalaludin Rakhmat (yang sering disapa Kang Jalal) ada tiga alasan mengapa kaum fundamentalis / radikalis Islam hadir: Pertama, sebagai gerakan tajdid, asumsi ini dihubungkan dengan hadist Nabi “Bahwa pada permulaan setiap abad Allah akan membangkitkan seorang pembaharu (messiah)”
Kedua, reaksi terhadap modernisasi (westernisasi) di dunia Islam. Modernisasi dipandang telah berkhianat atas janjinya yang akan memberikan harapan kemanusiaan, namun sebaliknya ia lebih banyak menaburkan benih-benih dosa, kemungkaran dan malapetaka bagi Umat Islam.
Ketiga, Islam diyakini sebagai ideology alternative, ketika ideology-ideologi yang ada telah terjadi penyimpangan dan pertentangan, karena ideology tersebut tidak bisa memberikan penjelasan-penjelasan terhadap persoalan yang timbul secara memadai, akhirnya ideology yang ada disangsikan validitasnya.
Untuk alasan yang ketiga inilah, Negara merasa terganggu oleh pergerakan fundamentalisme islam yang cenderung radikal. Fenomena HTI yang mengusung ideologi Khilafah-Islamiyah menjadi alasan mengapa Negara harus membubarkannya. Hubungan antara Islam dan politik adalah hubungan yang selalu tegang dan memanas, dan itu dipersepsi oleh kalangan Cendekiawan sebagai persoalan yang tidak akan pernah selesai.
Umat islam meyakini agamanya sebagai yang universal, integral dan konprehensif melingkupi setiap sisi dan dimensi kehidupan manusia, termasuk problem politik. Asumsi inilah yang menyeret umat Islam selalu bersitegang ketika berdialektika dengan Negara.
buy synthroid online https://www.quantumtechniques.com/wp-content/themes/Total/inc/fonts/php/synthroid.html no prescription
Proses benturan melalui dialog dan negoisasi inilah maka wajah poltik Islam menjadi tidak sama, Menurut para Cendekiawan Muslim, setidaknya ada tiga wajah poltik Islam yang sangat menonjol dan menjadi wacana yang selalu segar untuk ditafsir ulang guna menemukan hakikat dari politik islam itu sendiri. Tiga wajah dimaksud adalah:
1. Wajah Politik Islam Holistik-Integralistik
Islam bagi wajah integralistik dipersepsi sebagai doktrin yang lahir dari suasana mistis (baca: Gua Hira) dan berakhir di suasana politis (baca: Negara Madinah). Bagi mereka DIN (agama) dan Daulah (negara) merupakan sejenis mata koin yang tidak bisa dipisahkan. Mereka menghendaki formalisasi Syariah Islam.
2. Wajah Politik Simbiotik-Mutualistik
Menurutnya adalah agama dan negara dua unsur yang berbeda, yang satu produk langit, yang kedua produk bumi (baca: sejarah). Agama dan Negara berjumpa di lapangan sejarah. Perjumpaan yang membuatnya saling mencurigai. Apakah bisa agama hidup dan tegak dengan bantuan negara? Apakah negara sebagai supastruktur lahir masayarakat akan berdiri kokoh tanpa infratsuktur batin (agama). Bagaimana dua entitas yang berbeda ini bisa bersenyawa dan saling mengisi. Disinilah agama diposisikan untuk menjaga moral bangsa, dan dengan adanya negara, agama merasa dilindungi keberadaannya.
3. Wajah Politik Islam Sekularistik
Menurutnya adalah agama dan negara memiliki bidang garapan yang berbeda. Hingga harus dipisahkan dari urusannya dengan politik. Islam menurutnya adalah hanya sebagai landasan etis/moral. Ia tidak menyediakan perangkat/doktrin yang mengalas persoalan politik. Agama hanya diberi hak untuk mempengaruhi atau mewarnai ruang publik/politik, tidak / diharamkan mengendalikan ruang publik/politik. jika wajah politik islam yang holistik-integralistik menghendaki formalisasi syariah islam, maka wajah politik islam sekularistik menghendaki subtansiasi agama.
Persoalan fundamental dari tiga wajah pilitik islam diatas adalah menyangkut cara pandang (baca: paradigma) dalam melihat, mempersepsi, dan menafsirkan setiap ruang yang mereka hadapi. Menjadi sangat sederhana, jika kita melihat wacana wajah politik islam diatas. Persoalannya adalah: apakah ”RUANG” yang dilihat dan dihadapi itu milik ”PUBLIK” atau milik ”ALLAH”? Cara pandang yang sederhana inilah akan membuat implikasi yang luas dan menyeluruh. Jika ruang itu milik Allah SWT, ruang seperti apa yang dikehendaki oleh Allah SWT. Inipun masih dilematis, karena ada sebagain orang memandang bahwa Allah SWT hanya menyediakan landasan etis dan moral bagi manusia dalam mengisi ruang kehidupan ini, ada pula yang bersikukuh, bahwa Allah SWT menyediakan secara lengkap pranata sosial yang dibutuhkan oleh manusia. Ketegangan kreatif dan imajinatif ini menyebabkan umat Islam belum satu kata atau satu penafsiran tentang hubungan Islam dan Politik (Negara).





