Oleh: Yayat Supriyatna
Manajer Pendidikan SIT. Asy – Syifa Qolbu
Keberadaan kurikulum seperti menu makanan, ia akan membuat pikiran, perasaan, sikap, dan perilaku peserta didik bisa sehat atau sakit. Namun jauh lebih penting dan mendesak adalah, alat dan cara (metode dan model) guru dalam memasak dan menyajikannya. Bisakah seorang guru memilah dan memilih mana dari kurikulum itu yang sesuai dengan kebutuhan peserta didiknya. Langkah selanjutnya adalah, seperti apa cara menyajikannya? Cara menyajikan (baca: metode dan model) akan berpengaruh pada antusiasme peserta didik dalam melahapnya. Kemudian, suasananya (lingkungan belajar) seperti apa yang bisa menyenangkan dan menggairahkannya. Dari itu semua yang perlu kita perhatikan adalah keberadaan jiwa para guru. Jiwa yang penuh cinta akan mengeluarkan seluruh enrginya untuk kemajuan Pendidikan. CINTA adalah kunci profesionalitas.
Dari asumsi diatas, keberadaan kurikulum memang penting, namun jauh lebih penting adalah metode, model, dan pendekatan apa yang digunakannya. Metode, model, dan pendekatan memang penting, namun jauh lebih penting adalah keberadaan gurunya seperti apa? Dan keberadaan guru memang penting, namun jauh lebih penting dan mendesak adalah keberadaan jiwa gurunya.
Keberadaan jiwa guru ditentukan oleh dua hal: pertama, Nilai apa dan seperti apa yang mengendap didalam jiwanya, hingga dengan nilai itu terbentuk identitas kesejatiannya dan dengan nilai itu ia tahu arah dan langkah yang harus dipilih dan diayunkannya. Nilai yang akan melahirkan kesadaran diri terdalam dan terluas hingga ia tahu peran dan fungsinya
Kedua, jiwa seseorang akan terpengaruh oleh keadaan lingkungan. Seperti apa kepedulian pemerintah terhadap keberadaan guru? Besar atau kecilnya kepedulian akan sangat berpengaruh bagi keberadaan jiwanya.
Keberadaan jiwa berkaitan dengan pikiran dan perasaan. Dua keadaan ini akan berpengaruh pada ucapan, sikap dan tindakan. Bagaimana pikiran dan perasaan guru focus pada pekerjaannya? Untuk menjawabnya adalah, bagaimana dan seperti apa pemerintah memperhatikan kesejahteraannya. Dilema moral seringkali menghinggapi guru. Satu sisi ia harus bekerja seprofesional mungkin, dilain sisi ia dituntut untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Tarik – menarik focus inilah yang membuat ketidakseimbangan jiwa guru. Akhirnya layanan Pendidikan dijalankan seadanya.
Setiap pergantian Menteri, para pendidik sudah mencurigai bakal ada perubahan atau pergantian kurikulum. Yang akan berdampak pada perubahan administrasi yang membosankan dan menyebalkan. Belum tuntas rasanya kita salaku pendidik memahami dan menjalankan Kurikulum Merdeka, kini kita dihadapkan pada rasa was – was akan adanya perubahan atau pergantian.
Kurikulum sehebat apapun kalau berada ditangan guru yang lemah, akan melemahkan Pendidikan. Sebaliknya, kurikulum yang apa adanya namun berada ditangan guru yang kuat, akan menguatkan Pendidikan. Kami berharap, Bapak Mentri yang baru lebih focus pada peningkatan kualitas guru dan kuantitas kesejahteraannya. Bangsa yang mulia dan terhormat adalah bangsa yang memuliakan dan menghormati gurunya.





