Ketika Agama kehilangan fungsi sosialnya

beranda, Headline251 views

Oleh: Abah Yayat

​Belakangan ini kita disuguhkan dengan berita mengenai dugaan pencemaran nama baik seorang kiai beserta lembaga pendidikan (pesantren) yang diasuhnya. Berbagai tanggapan pun bermunculan dan menghiasi ruang publik, khususnya di dunia maya. Pro dan kontra tentu merupakan hal yang wajar, sebab setiap orang memiliki sudut pandang yang berbeda. Yang tidak dapat diterima adalah ketika seseorang memaksakan sudut pandangnya sebagai satu-satunya kebenaran. Bukankah keragaman sudut pandang justru dapat memperkaya cara kita memahami persoalan, sehingga melahirkan sikap yang lebih arif dan bijaksana?
Sebagian dari kita mungkin pernah merasa gelisah dan bahkan geram, meski hanya dalam diam, ketika menyaksikan puluhan santri wafat tertimbun reruntuhan bangunan pesantren, sementara para kiai dan santri memilih diam tanpa pernyataan. Namun ketika nama baik pribadi atau lembaganya disentuh, justru muncul teriakan marah, hujatan, bahkan tuntutan agar pihak yang memberitakan dipecat serta televisi yang menyiarkannya diboikot. Tidak menutup kemungkinan, pemberitaan tersebut sesungguhnya lahir dari rasa jengkel akibat belum adanya langkah nyata untuk menindaklanjuti tragedi kematian para santri tersebut.
Pada dasarnya, setiap manusia—siapapun, dimanapun, dan kapanpun—menginginkan berada dalam posisi benar dan dibenarkan, serta tidak ingin salah apalagi disalahkan. Sikap demikian berangkat dari pangkuan ego. Padahal, setiap berita pada hakikatnya mengandung sisi benar dan salah, demikian pula pendapat kita sendiri selalu berpotensi benar atau salah. Maka, menahan diri untuk tidak tergesa-gesa dalam menilai merupakan langkah yang arif dan bijaksana. Seringkali kebenaran dan kebaikan justru tersembunyi di balik kesalahan dan keburukan. Bukankah semakin tinggi ilmu pengetahuan seseorang, semestinya semakin arif dan bijaksana sikapnya?
Kembali pada inti agama, bahwa agama sesungguhnya adalah laku hidup. Pemahaman yang paling tepat tentang agama adalah yang terwujud dalam tindakan, sebagaimana definisi iman: diyakini dalam hati, diucapkan dengan lisan, dan diamalkan melalui perbuatan. Untuk menjadikan agama sebagai laku hidup, maka umat beragama dituntut memahami kebutuhan, masalah, serta tantangan yang dihadapinya, sekaligus mencari solusi yang ditawarkan agama terhadap persoalan-persoalan tersebut.
Jika kebutuhan, masalah, dan tantangan umat mampu distrukturkan dengan benar, baik, dan tepat, maka sikap yang dihasilkan pun akan benar, baik, dan tepat. Sebaliknya, kegagalan dalam menstrukturkan kebutuhan, masalah, dan tantangan akan berujung pada kegagalan dalam menyikapi keadaan. Selama kebutuhan, masalah, dan tantangan umat belum ditemukan dan disepakati, umat akan terus disibukkan oleh hal-hal yang remeh-temeh.
Bukankah seharusnya kemuliaan Islam lebih utama untuk dijaga dan dibela? Bukankah kehormatan dan kemuliaan umat jauh lebih penting untuk diperjuangkan? Justru kebodohan, kemiskinan, keterbelakangan, dan kemunduran umatlah yang semestinya ditempatkan sebagai masalah besar yang segera membutuhkan solusi. Apabila hal-hal tersebut tidak dianggap penting atau hanya dipandang sepele, maka umat akan terus terjebak pada perkara-perkara remeh yang diperlakukan seolah-olah sebagai masalah besar dan serius.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *