Oleh: Abah Yayat
Negara mengalami kerugian lebih dari satu triliun rupiah akibat praktik korupsi pada kuota tambahan haji periode 2023–2024. Tindakan korupsi ini tidak lagi hanya terjadi di ranah umum, tetapi telah merambah kalangan yang berada di lingkaran dekat Ka’bah sebagai simbol Rumah Tuhan. Fyodor Dostoyevsky, seorang novelis sekaligus filsuf Rusia abad ke-19, pernah menyatakan bahwa “uang adalah satu-satunya agama umat manusia.” Uang kini telah menjelma menjadi agama universal yang dianut hampir seluruh umat manusia. Ketika uang dicintai, ditakuti, dan diharapkan keberadaannya, ia mampu memengaruhi cara berpikir, perasaan, serta perilaku manusia, bahkan menentukan pandangan, pendirian, dan sikap seseorang. Pada tahap ini, uang telah menjelma menjadi ideologi atau “tuhan” yang disembah.
Yaqut Cholil Qoumas, mantan Menteri Agama Republik Indonesia periode Desember 2020 hingga Oktober 2024 pada Kabinet Indonesia Maju era Presiden Joko Widodo, bersama dengan dai kondang Ustaz Khalid Basalamah, diduga turut terseret dalam kasus korupsi tersebut. Meskipun status hukum keduanya belum dipastikan atau masih sebatas sebagai saksi, fakta bahwa negara mengalami kerugian lebih dari satu triliun rupiah menunjukkan keterlibatan mereka berdua, atau bahkan mungkin lebih banyak pihak lain.
Yang menarik, kedua tokoh ini berasal dari latar belakang aliran keagamaan yang berbeda secara tajam. Yaqut Cholil Qoumas berasal dari kultur keagamaan Nahdlatul Ulama (NU) yang kerap dikritik sebagai ahli bid‘ah oleh Khalid Basalamah, seorang penganut Salafi yang dikenal anti-bid‘ah. Dalam ranah dakwah, keduanya kerap berseberangan, bahkan tidak jarang terjadi ketegangan yang tidak hanya sebatas perdebatan wacana, tetapi juga menyentuh ranah gerakan, seperti upaya pembatasan atau pelarangan kegiatan dakwah salah satu pihak oleh pihak lainnya.
Meskipun terdapat pertentangan tajam dalam dakwah, keduanya tampak dapat bersatu dalam kepentingan yang berkaitan dengan uang. Uang mampu meruntuhkan sekat-sekat perbedaan dan dinding ego, hingga mempersatukan mereka dalam kepentingan yang sama. Uang pada akhirnya membentuk identitas sejati, menyatukan berbagai kepentingan, dan mengarahkan tindakan di masa kini maupun mendatang.
Uang telah menjadi superstruktur yang menggerakkan hampir seluruh aktivitas manusia, dari, oleh, dan untuk uang. Bahkan agama yang paling suci pun tidak luput dari kontaminasi kepentingan material. Agama berubah menjadi komoditas yang dapat membuat seseorang menjadi kaya. Jika Nabi Muhammad SAW menghabiskan kekayaannya demi dakwah, maka kini sejumlah pemuka agama justru menjadikan dakwah sebagai sarana untuk mengumpulkan kekayaan. Nabi SAW menjadikan hidupnya untuk dakwah, sementara sebagian pemuka agama masa kini justru menjadikan dakwah sebagai sarana untuk mempertahankan kehidupannya.
Idealnya, para juru dakwah telah selesai dengan persoalan materi, karena tugas utama mereka adalah membimbing umat agar berdaya, bukan memanfaatkan umat untuk memberdayakan diri sendiri. Namun, yang terjadi justru sebaliknya: mereka tampak lebih menyerupai selebritas yang menjadikan umat sebagai kerumunan pengagum, bukan sebagai pemimpin yang membentuk barisan dan menumbuhkan kesadaran umat atas hak-haknya.
Karena itu, tidak tepat menyalahkan Karl Marx sepenuhnya ketika ia menilai bahwa agama sering dijadikan alat legitimasi kepentingan dan candu untuk meninabobokan umat. Agama dan para juru dakwah telah kehilangan fungsi sosialnya sebagai kekuatan pembebasan, bahkan berubah menjadi alat penindasan. Baik kelompok yang disebut “ahli bid‘ah” maupun “anti-bid‘ah” sama-sama menjalankan praktik bid‘ah secara sosial. Mereka dan agamanya telah kehilangan fungsi sosial, membeku di hadapan ketimpangan, namun mencair dan mengalir ketika menyangkut kepentingannya.





