Nasib Dibalik Kepulan Asap Metromini yang Hampir Hilang

beranda, Headline1.6K views

 

Oleh :Niken Pangesti

 

Teriknya matahari Jakarta menerpa kulit Suyono pria asal Wonosobo kelahiran 1976. Ia berjongkok sambil memeriksa roda Metromini yang disewanya. Setelah selesai memeriksa kondisi ban metromini, ia pun bernaung dibawah pohon yang terdapat di kawasan Stasiun Pasar Minggu, Jakarta.
Secangkir kopi dipesannya, setelah jadi lalu diseruputnya sedikit demi sedikit. Sudah setengah hari Suyono “narik” beberapa rit. Namun, uang yang ia dapat masih jauh dari yang ditargetkan. “Sekarang penumpangnya sepi, sudah jarang yang mau naik Metromini. Belum lagi, kabarnya tahun 2019 Metromini mau dihilangkan, kalau sudah begitu saya bingung mau kerja apa.”
Semenjak adanya kebijakan Pemprov DKI tentang busway, masyarakat memang mulai beralih pada transportasi umum yang menggunakan bus Transjakarta tersebut. Bahkan ada kebijakan dari pemerintah bahwa masyarakat dapat menumpangi Transjakarta secara gratis dengan syarat tertentu. Hal ini tentunya semakin menarik minat masyarakat untuk naik Transjakarta. Metromini dan Kopaja pun lambat laun semakin tersingkir. Rencananya pada tahun 2019 pemerintah akan segera melarang Metromini untuk beroperasi. Alasannya karena umur bus dan mesin yang sudah tua, sehingga dikhawatirkan membahayakan keselamatan masyarakat.
Kebijakan Pemerintah Jakarta tersebut menyebabkan Suyono dan sopir lain harus memutar otak agar bisa terus menafkahi keluarganya. Selama ini Suyono bertahan tetap menjadi sopir Metromini walaupun pendapatan yang ia peroleh semakin lama semakin menipis. Suyono yang hanya lulusan Sekolah Menengah Pertama (SMP) tak punya pilihan kerja yang banyak. “Saya juga bingung, kalau sudah nggak nyopir mau kerja apa, mau ngojek nggak punya motor,” ujar Suyono sambil memegang secangkir kopi hitam.
Nasib Suyono dan sopir bus lain bagaikan terombang-ambing di lautan luas tanpa tepi. Pendapatan Suyono tidak cukup untuk menutupi kebutuhan istri dan kedua anaknya. “Ngasih makan sih masih bisa. Cuman buat kebutuhan sekolah anak yang susah,” kata Suyono. “Mulai tahun 2018, kalau penumpangnya ramai bisa dapet uang bersih Rp150 ribu, tapi masih harus dibagi dua dengan kernet.” tambah Suyono.
Metromini yang berisi kursi berkarat, jendela lusuh dan lantai yang berlubang disana-sini nyatanya pernah menjadi transportasi favorit masyarakat. Di masa jayanya, yakni 2004-2010, setiap harinya Suyono dapat mengantongi pendapatan bersih Rp300 ribu bahkan lebih. Namun malang, pada tahun 2018, hasil menarik dari pagi buta hingga malam hanya mendapat Rp75 ribu.
Lebih Nyaman Transjakarta dan Lebih Cepat Ojek Online
Hadirnya Transjakarta dan transportasi online di tengah masyarakat menjadi salah satu alasan mengapa masyarakat tak lagi memilih Metromini. Lagipula penilaian masyarakat terhadap Metromini terkesan buruk. Seperti yang dikatakan Fairuz Hasna seorang mahasiswa Universitas Negeri Jakarta yang pernah menumpangi Metromini, “Saat tahun 2015 saya pernah beberapa kali naik Metromini, sepanjang perjalanan rasanya was-was, takut ada copet atau kejahatan yang banyak diberitakan di televisi. Kurang nyaman juga sih, sampah dimana-mana terus banyak asap dan suka ugal-ugalan. Ditambah kadang lama ngetemnya,”
Tentu penilaian buruk masyarakat terhadap Metromini lambat laun memengaruhi kehidupan bus itu. Akhirnya, Metromini semakin sepi penumpang. Masyarakat lebih senang naik Transjakarta yang nyaman dengan dukungan fasilitas lengkap seperti AC, kursi empuk dan bus yang bersih, atau naik ojek online yang praktis lagi murah.
Namun,dibalik penilaian masyarakat yang seperti itu terdapat nasib para sopir dan kernet Metromini yang semakin mengenaskan. Mereka tetap harus menafkahi keluarganya. Jika kebijakan pemerintah untuk menghilangkan Metromini tidak didukung dengan solusi untuk sopir dan kernet, maka mungkin saja mereka kehilangan mata pencahariannya.

 

NIKEN PANGESTI