Kota Bogor – bogorOnline.com
Terkait peristiwa pelarangan kepada para awak media untuk meliput kegiatan pembahasan LHP Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan pembahasan Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (RAPBD) Perubahan tahun 2016, yang dilakukan oleh pihak Pemerintah Kota Bogor dengan DPRD Kota Bogor, di gedung paripurna DPRD Kota Bogor, berbuntut panjang.
Sikap Ketua DPRD yang mengusir para wartawan saat akan meliput kegiatan rapat bersama eksekutif dan legislatif itu terus menuai sorotan dan perhatian. Bahkan akibat tidak bolehnya kalangan media masa melaksanakan tugasnya sesuai dengan Undang Undang Pers nomor 40 tahun 1999 itu, sejumlah masa yang tergabung dalam LSM Garuda KPPRI melakukan aksi demo di depan gedung DPRD Kota Bogor, mengecam keras tindakan yang dilakukan oleh Ketua DPRD Kota Bogor.
Kordinator aksi dari Garuda KPPRI, Risman Launtu mengatakan, apa yang dilakukan oleh Ketua DPRD Kota Bogor dengan mengusir wartawan ketika meliput rapat pembahasan anggaran APBD Perubahan tahun 2016, merupakan perbuatan melawan peraturan undang undang nomor 40 tahun 1999 tentang Pers.
Azas transparansi setengah hati yang diterapkan oleh wakil wakil dewan begitu nyata, ketika pembahasan RAPBD Kota Bogor dilaksanakan secara tertutup, sehingga para awak media tidak bisa mewartakan apa saja keputusan yang di dapat dalam pembahasan RAPBD-P tahun 2016.
“Kami mendesak kepada DPRD untuk bersikap transparan dan terbuka dalam membahas RAPBD Perubahan 2016. Pengusiran terhadap wartawan harus diusut sampai tuntas, karena informasi yang diberikan wartawan melalui pemberitaan sangat mengedukasi masyarakat dan dibutuhkan oleh masyarakat, jadi jangan sampai pihak Pemkot Bogor serta DPRD membungkam kebebasan media untuk mendapatkan informasi, apalagi membahas persoalan uang rakyat,” kata Risman.
Tak hanya aksi demo dalam menyikapi sikap Ketua DPRD yang mengusir para wartawan, hal tersebut pun disikapi serius oleh Ketua Forum Wartawan Harian Bogor (FWHB) Haryudi, pihaknya mengecam keras tindakan yang dilakukan oleh Ketua DPRD Kota Bogor sesaat sebelum memulai rapat. Rapat pembahasan anggaran yang digelar secara tertutup juga disinyalir ada upaya mengulang kasus angkahong seperti pembahasan 2014 lalu.
“Kami sangat menyayangkan sikap pimpinan DPRD kota Bogor yang mengusir wartawan saat sedang meliput jalannya rapat finalisasi RAPBD perubahan, di Gedung DPRD Kota Bogor, Selasa (11/10/16) petang.
Padahal, agenda rapat tersebut sangat penting dan layak diketahui publik, karena yang dibahas adalah uang rakyat. Media sebagai penyambung lidah ke masyarakat, tentunya sangat berhak untuk memperoleh informasi terkait RAPBD Perubahan, karena banyak masyarakat penasaran dan ingin tahu perkembangan terkait anggaran yang dialokasikan apakah usulan masyarakat melalui musrenbang, benar-benar direalisasikan.
“Kami memahami, keputusan arogan seorang Ketua DPRD kota Bogor yang mengusir wartawan saat pembahasan RAPBD Perubahan merupakan kesepakatan mayoritas peserta rapat (legislatif dan eksekutif) yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2010 tentang pedoman penyusunan peraturan DPRD tentang Tata Tertib DPRD,” tegasnya.
Dalam pasal 69 ayat 2 menyebutkan Rapat DPRD yang bersifat tertutup meliputi rapat pimpinan DPRD, rapat konsultasi, rapat Badan Musyawarah, rapat Badan Anggaran, dan rapat Badan Kehormatan. Tapi mereka seharusnya memahami juga aturan dalam pasal 68 menyebutkan semua rapat di DPRD pada dasarnya bersifat terbuka, kecuali rapat tertentu yang dinyatakan tertutup.
“Nah menurut saya apakah rapat finalisasi RAPBD Perubahan ini masuk dalam pengecualian yang disebutkan dalam pasal 68, sehingga harus dinyatakan tertutup. Pembahasan finalisasi RAPBD Perubahan menurut kami tidak harus digelar secara tertutup. Dikarenakan rapat tersebut agendanya membahas sesuatu hak yang memang perlu diketahui masyarakat banyak. Dengan demikian, para anggota legislatif dan eksekutif yang hadir dalam rapat tersebut melanggar UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP),” jelasnya.
Dasar mereka mengusir atau melarang wartawan meliput adalah peraturan pemerintah (PP) tentang Tata Tertib. Lebih tinggi PP atau UU, coba tanyakan kepada para anggota legislatif. Jangan-jangan mereka tidak paham sama sekali soal kedudukan PP dengan UU. Sehingga dengan seenaknya melarang bahkan mengusir wartawan yang sedang menjalankan tugasnya demi kepentingan publik. Selain melanggar UU KIP, DPRD Kota Bogor juga melanggar UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang pers.
Jika memang mereka paham, dengan menempatkan PP dibanding UU, maka patut diduga dan perlu diawasi bersama, pembahasan RAPBD Perubahan Kota Bogor tahun 2016 syarat ‘patgulipat’ atau persekongkolan yang disinyalir bakal merugikan negara. Seperti kasus dugaan korupsi pembebasan lahan Pasar Jambu Dua atau Angkahong. Itu terjadi persis masuk dalam pembahasan RAPBD Perubahan 2014.
“Jika kondisi tersebut terus dibiarkan akan menjadi preseden buruk yang memang membudaya atau sudah menjadi tradisi, sehingga kedepannya peristiwa serupa bakal berulang sehingga mereka DPRD dan Pemkot Bogor bisa sewenang-wenang dan leluasa melakukan penyimpangan-penyimpangan terhadap uang rakyat. Maka dari itu, kami dari Forum Wartawan Harian Bogor (FWHB) mengecam keras sikap atau perilaku pimpinan DPRD kota Bogor Untung W Maryono yang telah melakukan pengusiran terhadap wartawan,” tandasnya.
Selain itu, FWHB juga meminta seluruh elemen masyarakat, bukan hanya media tapi LSM, ormas dan lembaga penegak hukum untuk sama-sama mengawasi secara ketat prosesi penetapan RAPBD Perubahan yang disinyalir syarat kongkalingkong, tentunya itu sangat menyakiti hati rakyat dan merugikan khalayak umum.
DPRD Kota Bogor maupun Pemkot Bogor harus meminta maaf kepada jurnalis karena telah melakukan pengusiran yang hanya berlandaskan aturan PP. Sedangkan jurnalis dalam menjalankan tugasnya jelas dan tegas dilindungi UU tentang pers dan dijamin UU Keterbukaan Informasi Publik.
Sementara itu, Ketua Komite Pemantau Legislatif (Kopel), Samsudin Alamsyah menyatakan bahwa haram hukumnya pembahasan APBD dilakukan secara tertutup sebab yang dibahas adalah uang rakyat. Sehingga, masyarakat berhak memastikan untuk apa peruntukannya.
“Itulah sebabnya dalam tahap pembahasan APBD malah harus dikonsultasikan atau hearing denag masyarakat. Bila tertutup maka secara nyata DPD melanggar konstitusi baik UU 23 Tahun 2014 tentang Pemda yang mengharuskan terbuka, juga UU keuangan negara 17 tahun 2003 termasuk turunannya, dan terutama uu 12 tahun 2011 tentang pembentukan perundang undangan,” katanya.
Menurut dia, terlalu primitif di zaman sekarang ini masih saja ada institusi yang rapat membahas uang rakyat secara tertutup. Bila merujuk pada UU 14 tahun 2008 tentang KIP, sambungnya, dasar pengecualian rapat terbuka itu hanya tiga, yakni lantaran agendanya membahas rahasia negara. Misalnya, kekuatan persenjataan negara.
“Kedua krn rahasia pribadi, asusila atau berkaitan pelecehan. Dan kerahasian untuk persaingan usaha tidak sehat. Sekarang kan yang dibahas APBD uang rakyat, dan tak memenuhi unsur dari ketiganya, kenapa malah tertutup,” urainya.
Dalam kesempatan berbeda, Ketua DPRD Untung W Maryono berdalih melarang wartawan meliput kegiatan tersebut lantaran adanya kesepakatan forum yang meminta rapat tersebut dilaksanakan tertutup.
“Dalam Tatib memang tidak diatur bahwa pelaksanaan rapat pembahasan APBD dilakukan tertutup. Tetapi, di dalam Tatib itu juga ada bahwa terbuka atau tertutup adalah kesepakatan bersama. Saya kan pimpinan jadi mengambil keputusan berdasarkan suara terbanyak,” katanya.
Untung mengatakan, sebenarnya ia ingin seluruh rapat yang membahas uang rakyat dilakukan secara terbuka. Namun, hal itu kembali lagi kepada keputusan bersama.
“Tidak ada Tatib yang menyatakan kalau membahas anggaran itu tak boleh diketahui masyarakat. Kalau ditanya alasan anggota dewan lainnya mengapa mereka minta tertutup, saya tak tahu. Keputusan pimpinan kan gimana forum,” pungkasnya.(bunai)