Bucephalus adalah seekor kuda yang namanya ‘masyhur’ dalam perbendaharaan sejarah Yunani kuno. Kuda pemberani itu menjadi tunggangan Alexander the Great, Raja Agung dari Mekadonia dalam ekspedisi militernya menaklukan belahan dunia. Bahkan sang Raja mengabadikan tempat peristirahatan terakhir kuda kesayangannya itu menjadi nama sebuah kota yang ditaklukannya. Kota tersebut diberi nama Bucephala, atau Bucephalia, atau Alexandria Bucephalous, di Sungai Jhelum, sebelah timur Sungai Indus.
Menariknya, sebelum menjadi tunggangan sang raja agung, Bucephala yang dikenal gagah berani itu adalah kuda yang sangat penakut dan sulit dijinakkan. Diriwayatkan, kuda tersebut dibawa ke Mekadonia oleh Philoneicus dari Thesally untuk ditawarkan untuk ayah Alexander, yakni Raja Philip II pada 346 SM. Kuda itu begitu liar dan tidak mampu ditaklukan oleh siapapun untuk ditunggangi. Geram Sang Raja, kemudian memerintahkan pengawalnya membawa kuda jantan itu ke tempat pemotongan hewan.
Beruntung, Alexander yang juga hadir di Arena tersebut, meminta ayahnya memberi dia kesempatan menjinakkan kuda itu. Alexander yang saat itu masih berusia 13 tahun mendekati kuda dengan tenang. Dia menyadari bahwa kuda itu takut pada bayangannya sendiri, suatu hal yang tidak disadari orang lain.
Dia kemudian mengarahkan pandangan kuda itu ke arah lima jari tangannya sambil kemudian bergerak perlahan memutar sehingga si kuda tidak lagi memunggungi matahari di sebelah timur. “Aku tahu kamu takut pada bayangan itu. Tidak apa-apa, bayangan itu milikmu sendiri,” kata Alexander.
Kuda itu tenang, dan singkatnya Alexander mampu menungganginya. Sorak-sorai semua yang hadir melihat kehebatan pangeran muda. Bersama kuda yang ia beri nama Bucephalus itu, Raja Alexander melakukan ekspedisi militer untuk memperluas wilayah kekuasaan yang diwariskan ayahnya.
Kuda Berani Menjadi Kuda
Kisah Bucephalus barangkali tidak akan menjadi bagian dari catatan peradaban sejarah Yunani, andai saja Alexander tidak mengambil kesempatan untuk membantu Bucephalus mengenal dirinya sebagai kuda. Kita bisa berpandangan, Alexander menyelamatkan Bucephalus dari kemungkinan nasib kuda itu berakhir di rumah potong hewan dan berlanjut menjadi santapan di meja hidangan.
Akan tetapi, sejatinya Bucephalus telah menyelamatkan dirinya dan mengubah takdir sejarahnya sendiri. Keberhasilan Bucephalus mengendalikan rasa takut pada bayangannya menjadi titik balik hidupnya untuk berani hidup sebagai kuda.
Yang juga perlu disadari, kesempatan Bucephalus menemukan dirinya sebagai kuda dan menjalani keberanian hidup sebagai kuda sangatlah terbatas. Jika saja terlambat menemukan nilai-nilai ke-kuda-annya, Bucephalus tidak akan menjadi bagian penting dalam catatan peradaban. Citra kuda sebagai makhluk kuat, gagah, dan berani mungkin juga tercoreng, atau setidaknya tidak akan ada nama Bucephalus, karena dia hanya kuda yang tidak berani hidup sebagai kuda.
Dibagian lain, Kita yang katanya manusia, seringkali dihadapkan pada situasi Bucephalus yang takut pada bayangan kita sendiri. Ketakutan yang tidak perlu seperti itu mengubur potensi kita sebagai manusia. Kita tidak berani hidup sebagai manusia dan jauh dari nilai-nilai kemanusiaan.
Seperti Bucephalus yang liar menghindari bayangannya, kita juga akan bergerak tanpa arah dan tanpa tujuan. Sayangnya, kemana saja kita menghindar, kita akan bertemu lagi pada bayang-bayang yang ‘menjelma’ menjadi hantu menakutkan dalam pikiran kita sendiri. Dalam situasi seperti itu, mungkin kita mengharapkan cepat datangnya kematian. Tetapi, jika pada bayangan senidiri saja kita sedemikian takutnya, apa mungkin kita berani berhadapan dengan kematian?.
Kita yang takut pada bayangan sendiri, adalah makhluk menjengkelkan bagi manusia yang ada di sekitar kita. Apalagi, jika manusia di sekitar Kita yang penakut itu, berharap Kita menjadi ‘sesuatu’ yang bisa diharapkan. Harapan mereka bergantung pada harapan yang kita bangun. Harapan dalam konteks tertentu, bisa kita artikan visi dan misi yang akan kita capai dan tidak bisa dipisahkan dengan kondisi ideal yang menjadi harapan orang-orang di sekitar kita.
Tegasnya, keadaan yang lebih baik di kemudian hari, sama sekali tidak boleh terbunuh oleh bayangan yang kita imajinasikan sangat menakutkan. Kehidupan yang layak harus diperjuangkan, dan perjuangan membutuhkan keberanian.
Sayyidina Ali bin Abi Thalib pernah berkata, “Orang yang terlalu memikirkan akibat dari sesuatu keputusan atau tindakan, sampai kapan pun dia tidak akan menjadi orang berani.” (*)
Penulis : Saeful Ramadhan
Penikmat Kopi Rujukan