Kota Bogor – bogorOnline.com
Belum genap sebulan sejak diberikannya penghargaan dari Ridwan Kamil kepada Yayasan Generasi Cerdas Iklim, sebuah kolaborasi apik sudah dilakukan. Kali ini aksi nyata Yayasan Generasi Cerdas Iklim menggandeng mahasiswa ITERA (Institut Teknologi Sumatera) dan beberapa mahasiswa pascasarjana LPDP Wageningen University untuk turun langsung menggarap proyek pendidikan tanggap bencana di Bogor. Proyek ini berlangsung di SDN Cipinang 3 Kelas Jauh 23-24 November 2019.
“Kearifan lokal masyarakat setempat menjadikan program kali berbeda dan menantang,” ungkap ungkap koordinator project Aji Nugroho
.
GCI yang sebelumnya banyak menggunakan media pembelajaran digital kini ditantang untuk membuat media pembelajaran fisik namun tetap menarik. Pasalnya, masyarakat daerah Cipinang memiliki budaya ASPEK (Anti speaker) sehingga menghindari betul penggunaan pengeras suara. Namun justru ASPEK ini menantang GCI dan segenap kolaborator untuk berinovasi dalam membuat media pembelajaran baru seperti poster kejadian banjir dan siklus air, drama hutanku, dan berbagai media pembelajaran menarik lainnya.
“Ternyata media-media baru ini mengundang antusiasme yang jauh lebih besar dari siswa SDN Cipinang 3 Kelas Jauh, bahkan salah satu mahasiswa LPDP Wageningen University pun memuji media pembelajaran inovatif GCI sebagai sebuah inovasi pendidikan tanggap bencana yang fun-learning,” imbuh Aji.
Selain fokus pada materi iklim dan bencana, GCI dan kolaborator juga menyisipkan aspek penguatan nilai dan moral melalui kelas impian, wawasan kebangsaan dan parade hasil pertanian.
“Sebagai mahasiswa kampus pertanian terbaik di Indonesia, tentu kami punya tanggung jawab untuk menumbuhkan kecintaan generasi muda terhadap komoditas lokal disana (Pisang) disamping hal ini juga mengurangi jumlah carbon footprint sebagai salah satu aspek pencegahan perubahan iklim yang semakin memburuk,” tambah Aji.
Pemilihan SDN Cipinang 3 kelas jauh didasarkan pada kondisi geografis sekolah yang rawan longsor dan dekat dengan daerah aliran sungai (DAS).
Perjalanan ke lokasi setidaknya membutuhkan waktu 1 jam 20 menit dengan akses jalan yang masih bebatuan sehingga menyulitkan relawan project kali ini. Meski demikian, setiap kakak asuh, sebutan untuk relawan GCI, mengakui bahwa project semacam ini harus terus berlanjut dan direplikasi ke lebih banyak daerah. Hal ini dikarenakan masih banyak anak-anak yang membutuhkan pendidikan dan pelatihan tanggap bencana, wawasan iklim, kebangsaan dan budaya yang mana keempatnya belum maksimal diperoleh dari kurikulum pembelajaran di kelas.
Permasalahan ini ada bukan untuk menjadi bahan evaluasi pemerintah saja, melainkan juga setiap pemuda yang memegang peran untuk menyajikan solusi melalui aksi nyata dan berdampak.
“Lagi-lagi permasalahan iklim adalah masalah yang hanya bisa diselesaikan dengan aksi bersama setiap orang tanpa terkecuali,” tutup Aji. (By)