BOGORONLINE.com, Bogor Tengah – Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Bogor mulai mengajak pegawainya untuk membawa sampah organik dari rumah ke kantor. Hal ini dilakukan sebagai salah satu upaya mengurangi volume sampah organik dengan dimanfaatkan sebagai pakan maggot.
Kepala DLH Kota Bogor, Denni Wismanto mengatakan, budidaya maggot di TPS 3R Paledang memang baru tahap penjajakan yang dilakukan bidang persampahan sejak pekan lalu. Untuk pakannya diusahakan sampah organik yang dihasilkan dari rumah tangga pegawai.
“Jadi sampah organik yang dihasilkan dari ASN di DLH kalau bisa dibawa ke sini. Kami bukan hanya mengimbau, tetapi sudah secara aktif memilah sampah dan meminimalisir jangan sampai sampah organik ini keluar,” kata Denni, Selasa (21/7/2020).
Memang diakuinya, pegawai yang membawa sampah organik ke kantor secara bertahap belum semua dilakukan 500 pegawai dikarenakan masih keterbatasan media ember.
Hitungan Denni, apabila 500 pegawai DLH setiap orangnya dapat membawa sampah organik paling tidak satu kilogram saja, itu artinya sudah dapat mengurangi 500 kilogram sampah organik yang diurai menjadi pakan maggot.
Ia pun berharap konsep pemilahan sampah baik organik maupun anorganik dari rumah tangga pegawai DLH bisa menjadi contoh untuk diterapkan di lingkungan warga.
“Sampah organik yang dihasilkan oleh lingkungan sekitar dapat diolah dan memberikan nilai manfaat bagi warga setempat juga. Sampah unorganik-nya sudah jelas bisa dibawa ke Bank Sampah,” ungkapnya.
Kota Bogor sendiri, kata Denni, saat ini menghasilkan volume sampah sekitar 500 sampai 600 ton setiap harinya. Dari jumlah itu, 70 persen sampah dibuang ke TPA Galuga, sedangkan sisanya diolah di TPS 3R dan Bank Sampah.
Di tempat yang sama, Kepala Bidang Persampahan, Dimas Tiko PS menjelaskan, budidaya maggot ini berawal dari semangat menata kembali di TPS 3R Paledang. Berbeda dengan TPS 3R lainnya yang dikelola Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM), TPS 3R Paledang berbasis aparatur DLH.
“Selain semangat menata TPS 3R ini, kita juga melihat potensi dari maggot itu sendiri karena kalau berbicara maggot sudah banyak juga rekan-rekan di tempat lain yang mengembangkan budidaya maggot BSF atau lalat hitam,” terangnya.
Lanjut dia, bahwa salah satu teknologi ataupun strategi dalam pengurangan sampah organik bukan hanya melalui pengolahan sampah menjadi kompos, ternyata dapat diurai melalui budidaya maggot.
“Seperti di TPS 3R MBR yang sudah aplikatif, mereka punya kandang pembibitan maggot sendiri, pakan maggot dari sampah organik hampir 400 kilogram setiap harinya, dan hasilnya untuk pakan ikan lele serta kasgot untuk pupuk tanaman,” paparnya.
Dimas berharap apa yang dilakukan di TPS 3R Paledang ketika nanti berhasil setidaknya dapat dijadikan percontohan untuk dikembangkan di wilayah tingkat RT meski di tengah keterbatasan lahan.
“Kami ingin ini jadi percontohan. Seperti di sini berbasis aparatur dan kedepannya, sekarang sedang diinisiasi juga bahkan pak Kadis sudah instruksikan, teman-teman di DLH didorong untuk membawa sampah organik dari rumah untuk kebutuhan pakan maggot,” ungkapnya.
Saat ini atau tahap perdana, imbuh Dimas, TPS 3R Paledang dengan budidaya maggot skala kecil baru dapat mengurangi volume sampah organik sekitar 36 kilogram.
“Sampah organik ini akan terus berkurang secara bertahap seiring berkembangnya budidaya maggot kedepan. Karena ketika media budidaya cukup luas otomatis kebutuhan akan pakan bertambah juga,” tandasnya. (Hrs)