Atty Somaddikarya: Koperasi Menyejahterakan Anggota Bukan Sebaliknya

BOGORONLINE.com, Kota Bogor – Koperasi adalah wadah bagi sekelompok orang yang memiliki tujuan merubah mindset diri menjadi pribadi yang mandiri dan berdikari secara ekonomi. Dalam asas koperasi, tertanam adanya nilai gotong royong, bukan tanggung renteng.

Gotong royong dan tanggung renteng memiliki dasar teori yang hampir sama, akan tetapi tidak sama bahkan tidak sesuai dengan prakteknya. Asas koperasi yang digagas Bung Hatta lebih menjungjung tinggi asas kekeluargaan.

Demikian hal itu dikatakan Ketua Koperasi Serba Usaha (KSU) Karya Mandiri, Atty Somaddikarya. Ia mencontohkan salah satu asas gotong royong di koperasi yakni adanya pinjaman macet lantaran keadaan yang tidak memungkinkan akan dihibahkan dengan syarat ketentuan yang berlaku atas kebijakan dan keputusan di Rapat Anggota Tahunan (RAT).

“Kemacetan pembayaran yang terjadi menjadi tanggungjawab koperasi karena ada Sisa Hasil Usaha (SHU). Untuk itu, tidak ada cerita anggota yang macet dalam hal pembayaran dikenakan denda dan sanksi,” ujarnya.

“Apalagi dipaksa untuk membayar dan ditagih dengan cara-cara yang tidak manusiawi, dan menarik sebuah barang yang sebagai jaminan atas pinjaman macet,” tambah Atty, Selasa (28/9/2021).

Atty juga mengatakan, koperasi memiliki konsep menyejahterahkan bukan malah sebaliknya yang akhirnya menyulitkan anggotanya.

“Selain itu, memberikan edukasi untuk menggeser budaya meminjam terlebih pada pinjaman yang instan, bahayanya meminjam pada rentenir, pinjaman online yang abal-abal dengan bunga yang tinggi, hal ini hanya menjerat dan membuat masyarakat miskin semakin miskin, bahkan lahirnya masyarakat miskin baru,” tuturnya.

Lebih lanjut kata Atty, edukasi yang gencar pada masyarakat terus dilakukan, koperasi memberikan pemahaman pada Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) untuk memulai kebiasaan menabung menjadi sebuah budaya.

“Jadi, ketika anggota mengajukan pinjaman sebagai hak anggota di koperasi harus punya niat yang baik untuk mengembalikan kewajibannya atas hak yang diterima, karena apa? Hak yang ia terima bersumber dari tabungan anggota,” paparnya.

Menurut dia, tanggung renteng yang saat ini marak di masyarakat khususnya di provinsi Jawa Barat, dengan modus pinjaman ‘berkedok’ modal usaha bagi kaum pelaku usaha dengan konsep membentuk kelompok masyarakat (pokmas) dianggap tidak mengedukasi.

“Mereka kumpulkan warga terdiri dari 5 sampai 10 orang dalam satu kelompok, ketika salah satu anggota pokmas mengajukan pinjaman modal usaha dan terjadi kemacetan akan ditanggung oleh anggota yang lain. Konsep pinjaman ini belum jelas apakah memakai konsep koperasi atau bendera lembaga keuangan yang berbadan hukum,” jelasnya.

Jika konsep yang marak terjadi memakai bendera koperasi, lanjutnya, sangat tidak diharapkan oleh pendiri koperasi Indonesia. Sebab, ini lebih condong pada konsep komersil yang mengedepankan keuntungan yang besar yang menjerat kaum marhaen dengan bunga tinggi.

Dia menilai bunga yang ditentukan berkisar di angka 20 sampai 25 persen per tahun. Atty juga menyebut, jika judulnya untuk modal usaha, pada kenyataannya tidak 100 persen menyasar pada pelaku di daerah.

“Malah kucuran pinjaman tersebut turun kepada ibu rumah tangga yang belum jelas sumber penghasilannya,” ujarnya.

Praktek seperti ini, sambungnya, akan memperburuk citra koperasi jika memakai bendera koperasi.

“Yang lebih parah saat ini banyaknya koperasi umum yang ‘mati suri’ di berbagai daerah di Indonesia, ditambah banyaknya koperasi yang gagal bayar dan koperasi bodong yang luput dari sorotan pemerintah, pada akhirnya dampak dari arus tersebut merugikan masyarakat yang turut menjadi anggotanya,” cetus Atty.

Ia mengatakan, bahwa koperasi yang sehat mampu menciptakan lapangan pekerjaan pada kaum perempuan melalui pelatihan hingga pemberian modal usaha tanpa bunga. Dirinya sangat prihatin justru banyak perempuan ibu rumah tangga menjadi korban atas penawaran yang menggiurkan dari orang-orang yang sudah dilatih sebagai marketing yang ditarget satu lembaga atau perusahaan yang blusukan sampai ke wilayah kaum marhaen.

“Mereka yang terlatih blusukan masuk wilayah-wilayah kaum marhaen, ini praktek jeruk makan jeruk yang akan menggeser asas koperasi yang seharusnya hadir dan ada untuk kesejahteraan malah membunuh secara perlahan keberadaan koperasi. Prinsip-prinsip untuk menjadi perempuan pandaringan khususnya di tatar Sunda bukan terbangun malah tergerus oleh oknum-oknum perusak pola pikir,” katanya memungkas. (*)

ARTIKEL REKOMENDASI

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *