BOGORONLINE.com – Cendawan ialah mikroorganisme yang mampu mengubah dunia dengan menjaga fungsi kelangsungan hidup berbagai organisme dan keseimbangan alam.
Sebagian besar cendawan hidup sebagai saprob dengan mengurai bahan organik yang kompleks menjadi senyawa sederhana yang dapat diserap oleh tumbuhan, sehingga siklus nutrisi di bumi berjalan lancar.
Ada sekitar 1.5 juta spesies cendawan di dunia, namun baru sebagian kecil atau 5% yang telah diidentifikasi dan dieksplorasi termasuk di Indonesia.
Eksplorasi cendawan dari berbagai ekosistem terestrial dan akuatik di Indonesia berpeluang besar mendapatkan spesies baru (species novelty) yang merupakan sumber bahan bioaktif baru (novel compound) yang bernilai ekonomi penting.
Guru besar IPB University Profesor Nampiah menyampaikan hasil eksplorasi cendawan terestrial tanah dari beragam habitat di Indonesia yang dilakukannya bersama dengan tim penelitian kerja sama Indonesia, yakni LIPI, IPB, UI, BPPT, Balitbangtan, dan NBRC Jepang menunjukkan keanekaragaman cendawan di Indonesia sangat tinggi (megabiodiversitas), diperkirakan 27% dari cendawan ialah spesies baru. Sebanyak 8 spesies baru cendawan terestrial asal tanah telah berhasil dipublikasikan.
“Spesies baru tidak saja menjadi rujukan untuk identifikasi cendawan di tingkat global, namun juga merupakan sumber senyawa bioaktif baru untuk bioprospeksi dalam berbagai bidang, seperti pertanian, kehutanan, lingkungan, dan kesehatan,” kata Profesor Nampiah dalam pra orasi ilmiah secara virtual melalui zoom meeting, Kamis (23/11/2023).
Ia lanjut menjelaskan, cendawan terestrial lainnya, yaitu cendawan mikoriza ialah simbiosis mutualisme antara cendawan dan tumbuhan sehingga dapat digunakan sebagai pupuk hayati. Mikoriza juga meningkatkan keanekaragaman tumbuhan.
Dalam simbiosis ini, cendawan mendapatkan unsur karbon dari tanaman inang, sedangkan tanaman inangnya mendapatkan unsur hara dan air yang diserap oleh miselia cendawan dari dalam tanah.
Mikoriza yang umum dijumpai di Indonesia, terang Profesor Nampiah ialah ektomikoriza dan mikoriza arbuskula (MA). Ektomikoriza merupakan komponen penting di hutan tropis.
“Pada umumnya tumbuhan hutan seperti Dipterocarpaceae, Fagaceae dan Myrtaceae tidak dapat tumbuh tanpa ektomikoriza sejak dari pertumbuhan bibit sampai tumbuhan dewasa,” katanya.
Menurutnya, cendawan ektomikoriza di hutan tropis Indonesia sangat beragam. Berdasarkan analisis molekuler, satu spesies Dipterocarpaceae dapat bersimbiosis dengan 10-17 spesies cendawan ektomikoriza.
Tingginya keragaman ektomikoriza menjamin tumbuhan inang dapat beradaptasi dengan berbagai cekaman biotik dan abiotik. Hal ini juga menunjukkan bahwa setiap spesies tumbuhan hutan merupakan “rumah” bagi beragamnya ektomikoriza.
“Satu spesies tumbuhan hutan punah maka akan diikuti dengan kepunahan 10-17 spesies cendawan ektomikoriza. Ektomikoriza menghasilkan tubuh buah cendawan yang disebut jamur,” katanya.
Di hutan Indonesia terdapat beberapa jamur ektomikoriza edibel yang mempunyai nilai ekonomi tinggi seperti jamur pelawan (Heimisoporus sp.) dan jamur Cantharellus. Heimisoporus sp. bersimbiosis dengan pohon pelawan (Tristaniopsis sp.) yang banyak tumbuh di hutan di Bangka-Belitung.
Harga Heimisoporus sp. Rp2 juta per kg bobot kering, harga di musim kemarau mencapai Rp 5-6 juta/kg bobot kering. Sementara Cantharellus sp. bersimbiosis dengan inang Dipterocarpaceae. Harga Cantharellus sp. Rp 200.000 – Rp 600.000 per kg bobot kering.
“Harga jamur ektomikoriza Heimisoporus sp. telah mendorong masyarakat sekitar hutan untuk mengkonservasi hutan pelawan dengan tujuan agar produksi dan panen jamur berkelanjutan. Kegiatan ini dapat diadopsi di daerah lain di Indonesia yang mempunyai potensi yang serupa,” imbuhnya.
Oleh karena itu, kata Profesor Nampiah, ektomikoriza penting untuk menunjang produktivitas hutan berkelanjutan, baik itu produk kayu maupun produk non-kayu.
Ia mengatakan, berbeda dengan cendawan ektomikoriza, cendawan MA tidak dapat tumbuh pada media buatan seperti PDA (Potato Dextrose Agar), dan hanya tumbuh pada akar yang hidup.
MA memiliki inang lebih luas dan berbeda dari ektomikoriza, di antaranya Fagaceae, Pabaceae, Leguminoceae, dan Euphorbiaceae. Selain dengan tumbuhan kehutanan, MA bersimbiosis dengan tanaman pertanian dan perkebunan.
Profesor Nampiah mengatakan, hasil penelitian menunjukkan bahwa MA yang bersimbiosis dengan tumbuhan di Indonesia beragam. Satu spesies tumbuhan hutan bersimbiosis dengan 4-9 spesies cendawan.
MA juga berperan penting dalam keberhasilan program reklamasi lahan terdegradasi seperti lahan pascatambang melalui peningkatan pertumbuhan dan kelangsungan hidup tanaman.
“Reklamasi lahan pascatambang disyaratkan menggunakan tanaman lokal. Pertumbuhan tanaman lokal bergantung pada komunitas MA lokal, sehingga manajemen MA lokal sebelum dan setelah penambangan perlu dilakukan,” katanya.
Sedangkan proses penambangan yang berpengaruh terhadap cendawan MA, di antaranya clearing topsoil, pengangkutan topsoil, penyimpanan topsoil sampai pengembaliannya ke lahan pascatambang pada saat reklamasi.
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa keanekaragaman MA pada bibit tanaman meningkat dengan menggunakan topsoil yang tidak terganggu dari hutan alam sebagai sumber inokulum, yaitu sebesar 50%, walaupun populasi setiap spesiesnya masih rendah sehingga diperlukan upaya untuk meningkatkan populasinya.
Dalam bidang pertanian, kata Profesor Nampiah, MA berperan signifikan dalam peningkatan produktivitas padi baik yang ditanam dalam sistem monokultur maupun tumpang sari dengan bawang.
“MA meningkatkan bobot kering malai, presentase gabah isi, indeks panen dan penurunan persentase gabah hampa pada tanaman padi,” katanya.
Ia menjelaskan, selain di ekosistem darat, cendawan juga berperan penting dalam ekosistem air laut dengan cara hidup bebas maupun bersimbiosis dengan berbagai organisme laut. Spons berperan penting dalam menjaga ekosistem terumbu karang dan merupakan inang dari berbagai cendawan laut.
Menurutnya, hasil kajian keanekaragaman cendawan laut asosiasi spons menunjukkan bahwa keanekaragaman cendawan laut di Indonesia tinggi dan menarik untuk dipelajari.
Diperoleh 179 isolat dari 20 sampel spons tropis yang dikoleksi dari Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta yang terdiri 21 spesies. Cendawan Aspergillus dan Gymnoascus merupakan cendawan yang relatif melimpah.
Berdasarkan karakteristik morfologi dan molekuler, isolat Gymnoascus diidentifikasi sebagai G. udagawae. Cendawan ini, sambungnya, belum dilaporkan sebagai cendawan laut, sehingga hasil yang diperoleh merupakan catatan baru (new record) yang menambah daftar nama cendawan laut, baik pada tingkat nasional maupun internasional.
“Kondisi cekaman lingkungan laut yang tinggi menyebabkan cendawan menghasilkan beragam metabolit sekunder yang berpeluang sebagai senyawa baru yang di antaranya bermanfaat dalam bidang kesehatan,” katanya.
Sedangkan Cendawan Purpureocillium lilacinum yang diisolasi dari spons Stylissa sp. mempunyai aktivitas penghambatan terhadap lipase pankreas secara in vitro, sehingga berpotensi sebagai obat pelangsing.
Ia menandaskan, cendawan laut A. terreus menghasilkan senyawa bioaktif terein yang teruji mengendalikan pertumbuhan cendawan patogen Candida albicans penyebab penyakit kandidiasis pada hewan dan manusia secara in vitro.
“Cendawan ini juga mempunyai potensi menghasilkan senyawa antimikrob lain, khususnya dalam mengendalikan pertumbuhan Eschericia coli penyebab diare,” tutupnya. (*)





