Cibinong – Tunggakan pajak bumi dan bangunan (PBB) di Kabupaten Bogor hingga tahun 2016 menembus angka Rp 1 triliun.
Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) kesulitan menagih piutang pajak tersebut, karena alamat wajib tak diketahui, kondisi diperparah dengan banyaknya obyek pajak yang telah berpindah tangan.
“Kami berusaha itu menagihnya, karena perintah dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK),” kata Kepala Dinas Pendapatan Daerah (Kadispenda) Dedi Bachtiar, kepada wartawan baru-baru ini.
Dedi menjelaskan, tingginya tunggakan PBB itu, lantaran saat penarikan PBB menjadi kewenangan Direktorat Pajak, Kementerian Keuangan, melalui Kantor Pajak Pratama (KPP), banyak wajib pajak yang ngutang dan tak sempat tertagih oleh KPP.
“Pada saat penarikan PBB dilimpahkan ke Kabupaten Bogor, tunggakan PBB nilainya mencapai Rp 600 miliaran, namun setelah ditambahkan denda bertambah menjadi Rp 935 miliar dan sekarang mendekati angka Rp 1 triliun,” ungkapnya.
Piutang PBB yang belum tertagih itu, kata Dedi dari mulai tahun 1990 hingga 2011. “Kami akan menggandeng Kejaksaan Negeri Cibinong, untuk menagihnya, karena PBB itu merupakan sumber pendapatan asli daerah (PAD) terbesar kedua setelah Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB),” jelasnya.
Piutang PBB berdasarkan Pasal 24 Peraturan Daerah (Perda) Nomor 10 tahun 2011 yang diberlakukan mulai I Januari 2012, disebutkan piutang pajak, karena hak untuk melakukan penagihan sudah kadaluarsa dapat dihapuskan.
Penghapusan piutang pajak itu dilaksanakan dengan peraturan bupati. “Ya kalau memang sudah tak bisa ditagih, karena berbagai hal, lebih baik diputihkan saja, seperti kebijakan tax amnesty untuk pajak yang dipungut pemerintah pusat,” kata Anggota Fraksi PDI Perjuangan Yusni Rivai.
Yusni mengaku, banyak menerima keluhan dari wajib pajak, karena mereka diharuskan membayar hutang pajaknya hingga 20 tahun kebelakang. “Ini kan sangat membebani, bahkan investasi pun jadi terhambat. Sekarang sebagaimana kita ketahui, pemerintah pusat sedang giatnya mendorong peningkatan investasi di daerah, makanya peraturan yang dinilai menghambat masuknya investasi banyak yang dibatalkan,” tegasnya.
Sementara itu, terkait rencana pemangkasan persentase penghitungan BPHTB dari 5 menjadi 2,5 persen yang diwacanakan pemerintah pusat, Dedi Bachtiar mengaku pihaknya masih menunggu. “Kami belum tahu nih, kapan kebijakan pusat itu diberlakukan di daerah. Namun, kalau BPHTB persentasenya dipangkas, pemasukan PAD bakal berkurang,” ujarnya.
BPHTB merupakan sektor penyumbang PAD nomor wahid ke kas daerah, karena tagihan BPHTB oleh Dispenda bukan didasarkan pada Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP), tapi harga transaksi, padahal NJOP adalah patokan untuk menaksir besaran pajak yang harus dibayarkan. (zahra)