oleh : Saeful Ramadhan
Pendidikan Nasional berfungsi untuk Mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Berbagai sistem dan metode diterapkan untuk mencapai tujuan pendidikan yang bisa dibilang teramat mulia. Namun, praktiknya tidaklah mudah. Ke-kaku-an model belajar yang diaplikasikan di lembaga pendidikan justeru menjauhkan maksud dari tujuan pendidikan tersebut.
Rendra dalam sajak sebatang lisong sempat menyindir sektor pendidikan yang mestinya menjadi peranan penting dalam kemajuan sebuah peradaban, malah terasing dari peradaban itu sendiri. Intervensi kekuasaan yang terlalu birokratis dan pengajaran yang lepas dari persoalan kehidupan, membuat cita-cita pendidikan kita jauh panggang dari api.
“Dan aku melihat delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikan” _
tetapi pertanyaan-pertanyaanku
membentur meja kekuasaan yang macet,
dan papantulis-papantulis para pendidik
yang terlepas dari persoalan kehidupan.
Dalam sajak seonggok jagung, Rendra bahkan membandingkan dua pemuda yang kurang sekolahan dengan yang tamatan SLA. Bagi pemuda kurang sekolahan seonggok jagung menyangkut pada akalnya. Dia membayangkan tanah, menanam, dan menuai hasil panen untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sementara seonggok jagung di mata pemuda lulusan SLA yang tidak punya uang untuk menjadi mahasiswa membawanya pada kondisi yang berbeda.
Seonggok jagung di kamar
dan seorang pemuda tamat SLA
Tak ada uang, tak bisa menjadi mahasiswa.
Hanya ada seonggok jagung di kamarnya.
Ia memandang jagung itu
dan ia melihat dirinya terlunta-lunta .
Ia melihat dirinya ditendang dari diskotik.
Ia melihat sepasang sepatu kenes di balik etalase.
Ia melihat saingannya naik sepeda motor.
Ia melihat nomor-nomor lotre.
Ia melihat dirinya sendiri miskin dan gagal.
Seonggok jagung di kamar
tidak menyangkut pada akal,
tidak akan menolongnya.
Seonggok jagung di kamar
tak akan menolong seorang pemuda
yang pandangan hidupnya berasal dari buku,
dan tidak dari kehidupan.
Yang tidak terlatih dalam metode,
dan hanya penuh hafalan kesimpulan,
yang hanya terlatih sebagai pemakai,
tetapi kurang latihan bebas berkarya.
Pendidikan telah memisahkannya dari kehidupan.
Aku bertanya :
Apakah gunanya pendidikan
bila hanya akan membuat seseorang menjadi asing
di tengah kenyataan persoalannya ?
Apakah gunanya pendidikan
bila hanya mendorong seseorang
menjadi layang-layang di ibukota
kikuk pulang ke daerahnya ?
Apakah gunanya seseorang
belajat filsafat, sastra, teknologi, ilmu kedokteran,
atau apa saja,
bila pada akhirnya,
ketika ia pulang ke daerahnya, lalu berkata :
“ Di sini aku merasa asing dan sepi !”
Ada masalah sakral dari pendidikan kita, bukan hanya bicara akses pendidikan, juga bicara tentang bagaimana kualitas pendidikan. Dan itu masih terjadi hingga hari ini. Bahkan boleh dibilang kualitas pendidikan semakin jauh dari maksud yang ingin dituju.
Belajar dan Peran Lingkungan
Tentu tulisan ini tidak bermaksud untuk menuding pendidikan kita gagal mencapai maksud tujuannya. Sekaliber Rendra yang kita sebut-sebut di atas juga merupakan produk pendidikan. Dia melalui proses belajar di sekolah dari Pendidikan Taman Kanak-Kanak hingga Perguruan Tinggi. Namun, sosok Rendra atau tokoh sekaliber dengannya tidak seutuhnya dibentuk oleh lembaga pendidikan formal tersebut. Ada peran lingkungan yang cukup besar menjadikan dirinya sosok yang berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Lingkungan yang dimaksud berupa pendidikan di rumah, dan pendidikan di lingkungan sekitarnya.
Pada dekade 80-an hingga 90-an, keberadaan sanggar, padepokan, surau memainkan peranan penting dalam ekosistem pendidikan kita. Di era itu, sepulang sekolah anak-anak masih mendapatkan pendidikan dari lembaga non formal tersebut. Ada yang berlatih beladiri, ada yang berlatih kesenian, ada juga yang mendalami ilmu agama, dan hal-hal yang menyangkut persoalan kehidupan.
Alhasil, meskipun tidak begitu berprestasi di sekolah, generasi yang mengalami pendidikan di dua dekade itu, masih lebih tangguh menghadapi jaman yang cepat sekali berubah.
Sayangnya, peranan lembaga pendidikan komunal kurang mendapat atensi dari para pemangku kebijakan. Perdebatan kita di jaman itu, terbatas pada dikotomi sekolah reguler yang dinaungi Kemendikbud dengan Madrasah dan Pesantren yang dinaungi Kementerian Agama. Sementara peranan Sanggar, Padepokan, Surau, dan sejenisnya tidak pernah masuk hitungan.
Memasuki era milenium belakangan, pendidikan berbasis komunal tersebut satu demi satu gulung tikar. Bahkan disebagian daerah, kita tidak lagi melihat eksistensi sanggar, padepokan, dan surau menjadi bagian dari ekosistem pendidikan kita. Kita juga belum menemukan lembaga sejenis yang bisa menggantikan peranannya.
Kita juga tidak melihat kegelisahan pemangku kebijakan di sektor pendidikan terkait hal ini. Mungkin karena tidak menyadari peranannya, dan merasa sekolah saja sudah cukup untuk mencapai maksud tujuan pendidikan nasional kita. Sebagian besar mereka hanya sibuk berlagak meng-upgrade teknologi dan bangunan gedung yang semuanya berorientasi pada proyek fisik pendidikan. (*)