Optimisme membangun daerah berjumlah penduduk setara Singapura menjadi judul tulisan, M Fikri Setiawan Jurnalis Kantor Berita Antara yang dirilis Minggu (7/8). Melalui tulisannya tersebut, sahabat saya ini membangun argumen, bahwa kepala daerah yang mengurus Kabupaten Bogor dengan 5,4 juta penduduk harus punya kapasitas mengurus satu negara. Argumentasi itu merujuk pada jumlah penduduk Negara Singapura, dan beberapa negara lain yang jumlah penduduknya jauh lebih sedikit seperti Irlandia (4.792.500 jiwa), Palestina (4.816.503 jiwa), dan Selandia Baru (5.257.320 jiwa).
Secara spesifik, tulisan tersebut juga memberikan penilaian subjektif penulis terhadap Bupati dan Wakil Bupati Bogor periode 2018-2023, Ade Yasin dan Iwan Setiawan. Pasangan Kepala daerah tersebut memandang jumlah penduduk yang banyak sebagai potensi. Apalagi,
secara geografis, Kabupaten Bogor yang memiliki luas 298.838 hektare itu merupakan salah satu daerah penyangga ibu kota.
Andalan untuk memanfaatkan potensi-potensi itu adalah program Pancakarsa dengan berbagai target indikator pencapaiannya. Pancakarsa menjadi narasi pembangunan untuk membawa Kabupaten Bogor menjadi daerah maju dan berkeadaban. Bogor Membangun, Bogor Cerdas, Bogor Sehat, Bogor Maju, dan Bogor Berkeadaban adalah lima karsa atau kerja sepenuh hati yang ingin dilakukan pemerintah Kabupaten Bogor. Selain itu instrumen pemerintahan yang terbagi atas 40 kecamatan terdiri dari 416 desa dan 19 kelurahan.
Tentu, berbagai kendala dan tantangan yang dihadapi untuk mewujudkan Pancakarsa tersebut juga tidak luput dari ulasan Fikri Setiawan. Misalnya, soal pentingnya membangun manusia-manusia berkualitas dan produktif. Bagaimana Pemerintah memastikan setiap individu masyarakat mendapatkan layanan publik yang baik. Masih rendahnya angka rata-rata lama sekolah menjadi satu tolak ukur kuantitas pendidikan kita. Parameter itu sejatinya belum menjangkau penilaian secara menyeluruh, apalagi menilai kualitas pendidikan yang ada. Apakah manusia terdidik lulusan lembaga bernama sekolah ini, bisa menjadi manusia yang benar-benar manusia di tengah dinamika zamannya.
Optimisme dan cara berpikir
Tulisan ini tidak untuk menyanggah atau mendukung ide dan argumen yang coba dibangun oleh Fikri Setiawan. Barangkali, tulisan ini justru tertarik dengan istilah ‘optimisme’ yang menjadi awal dalam judul tulisan Fikri. Hal yang menarik adalah, apakah Istilah yang akrab di telinga kita ini, hanya barisan huruf untuk menghaluskan citra agar terlihat gagah, atau ia menelisik hingga makna yang terkandung di dalamnya.
Optimisme sebagai satu Istilah perlu kita hayati secara mendalam agar kata tidak hanya sekedar barisan huruf tanpa makna. Tidak juga hanya sekedar tampak baik pada konsep pemikiran tapi tidak menyentuh persoalan kehidupan, atau dalam khazanah agama diibaratkan melakoni syariat tanpa hakikat.
Banyak definisi untuk mengungkap pengertian optimisme. Namun, secara umum optimisme adalah paham keyakinan atas segala sesuatu dari segi yang baik dan menyenangkan dan sikap selalu mempunyai harapan baik di segala hal. Optimisme bukan sekedar berpikir positif, melainkan mencakup sikap yang berfokus pada tujuan, sesuatu yang diperkirakan terjadi di kemudian hari. Orang yang optimistis menduga hasil positif cenderung akan terjadi. Adapun Pesimisme menjadi istilah dengan pengertian kebalikannya. Istilah lain yang menggambarkan perspektif kita terhadap realitas hari ini dan masa depan adalah stagnanisme (tidak ada harapan lebih baik dan lebih buruk akan masa depan) dan pasrahisme (sikap bergantung pada nasib baik atau buruk).
Keempatnya, optimisme, pesimisme, stagnanisme, dan pasrahisme dalam konteks tertentu bisa menjadi baik dan bisa juga menjadi buruk. Anggaplah dalam konteks banyaknya jumlah penduduk dan pembangunan Kabupaten Bogor kita mengedepankan optimisme, maka kita tidak bisa dan bahkan tidak boleh berhenti dengan apa yang kita sebut pikiran positif itu. Juga kita tidak bisa menempatkan konsep berpikir pesimis, stagnan, dan pasrah mendapati keadaan yang begitu.
Harapan indah kita akan masa depan, harus beriring kesungguhan kerja kita mewujudkannya. Bahkan, pada era yang kita sebut 4.0 dengan pengaruh teknologi kecerdasan artifisial ini, kesungguhan juga harus disertai kecepatan dan keakuratan. Efektif dan efisien. Jika hal-hal ini tidak mendapat perhatian yang seimbang, maka optimisme akan menjadi kabur arah tujuannya. Hanya menjadi optimisme utopis, atau mimpi indah masa depan tanpa program dan strategi yang menyentuh realitas dengan bayang-bayang berbagai macam kemungkinan.
Kita menyadari, teknologi kecerdasan buatan sudah menggeser peran manusia dalam mengerjakan berbagai hal. Konsekuensinya, lapangan kerja menjadi sangat terbatas. Meskipun muncul lapangan kerja baru, tapi jumlahnya tidak sebanyak lapangan kerja manusia yang tergantikan dengan kerja-kerja mesin.
Dalam hal ini, kita perlu mengkhawatirkan lapangan kerja tidak lagi cukup untuk menyerap tenaga kerja berwujud manusia. Lalu, kemudian kita berpikir apa yang mesti kita lakukan dan menempatkan optimisme bahwa kita bisa melakukan itu.
Membaca Kita
Kecepatan, keakuratan menjadi keniscayaan yang harus kita miliki hari ini. Bahkan, dalam satu pidatonya, Presiden Joko Widodo menyinggung persaingan hari ini bukan bangsa kuat mengalahkan yang lemah, bukan bangsa kaya mengalahkan bangsa yang miskin, tetapi bangsa yang cepat yang akan mengalahkan bangsa yang lambat. Kecepatan tentunya disertai dengan keakuratan. Tentu kecepatan dan dan keakuratan beririsan dengan kehadiran teknologi kecerdasan buatan.
Keakuratan, artinya kita mengambil keputusan, kebijakan dan langkah yang tepat. Hal ini, tidak bisa tidak harus berbasis data. Data yang presisi, menjadi kunci mewujudkan kemungkinan terbaik dari kerja-kerja kita hari ini. Andai bacaan kita terhadap potensi penduduk dan potensi alam benar-benar objektif berbasis data yang akurat, tentunya kita bisa ‘niteni’ atau memprediksi kemungkinan apa yang bakal terjadi di masa depan.
Optimisme bersandar pada hasil yang terbaik. Maka, cara berpikir yang sedang kita konteks-kan pada jumlah penduduk ini, mesti diiringi pertaanyaan penduduk seperti yang hari ini tinggal di Bumi Tegar Beriman itu. Karakternya bagaimana?, Sebagai subjek pembangunan kontribusi seperti apa yang diharapkan pemerintah kabupaten Bogor dari penduduknya dalam mendukung cita-cita pembangunan daerah?. Selanjutnya, tentu apa yang harus dilakukan untuk menciptakan ideal-ideal yang diinginkan. Dari situlah, kita menentukan visi dan misi membangun sumber daya manusia sebagai sosial kapital, dan layanan seperti apa yang mesti diberikan oleh pemerintah.
Apabila sektor pendidikan yang kita andalkan dalam membangun manusia Bogor sudah sampai pada ranah berpikir seperti itu, tentu kita menjauh dari optimisme utopis. Demikian juga di sektor kesehatan yang menjadi satu dari berbagai fondasi kita membangun manusia yang ideal.
Kita harus membangkitkan subjektifitas reflektif kita dalam membaca keadaan. Juga harus membangkitkan subjektifitas kritis kita terhadap fenomena-fenomena yang terus berkembang, dan satu hal lagi kesadaran kita akan sejarah. Teknologi boleh saja kita datangkan dari luar, tapi nilai-nilai ideal harus kita gali dari bangsa kita sendiri.
Kemudian yang tidak kalah penting adalah, membangun manusia ideal harus juga dilakukan oleh pemimpin yang ideal. Pemimpin dalam artian lebih luas, tidak hanya kepala daerah, tapi juga pimpinan institusi kedinasan. Sering kita dapati ajakan untuk berubah ke arah yang lebih baik dari pemimpin tapi tidak membuat kita beranjak dari kondisi yang kita anggap tidak baik. Diajak memberikan layanan sepenuh hati, tapi dilaksanakan separuh hati, diajak bekerja lebih cepat, tapi praktiknya masih saja lambat. Padahal apa yang disampaikan memenuhi kaidah logika, dan juga membuat yang mendengarkan terungkit semangatnya.
Komunikasi yang tidak efektif demikian mestinya harus jadi bahan renungan. Barangkali, ada nilai keteladanan yang menjadi ‘hijab’ sabda-sabda pemimpin hanya ibarat angin lewat. Masuk kuping kanan keluar kuping kiri. Seperti mantra yang kehilangan aji (kesaktian)nya. Seperti obat tidak mujarab. Keteladan ini masuk dalam ranah ethos atau norma etik. Kalau dalam literatur agama, pemimpin harus melakoni lebih dulu apa yang dia perintahkan. (Janganlah kamu memerintahkan kepada orang lain apa yang tidak kamu lakukan.)
Mahatma Gandhi pernah dimintai seorang ibu yang sudah tidak sanggup lagi melarang anaknya memakan garam karena membahayakan kesehatannya. Tapi, ketika ibu itu meminta agar Gandhi mendoakan atau menasehati anaknya untuk tidak makan garam, Gandhi menolak dan meminta ibu itu kembali lagi dua minggu mendatang. Ketika tiba waktunya, Gandhi baru mau memenuhi permintaan si Ibu tadi. Kata Gandhi, dua minggu lalu saya masih makan garam, maka saya tidak mungkin melarang anak ini sesuatu yang saya sendiri masih melakukannya. Barangkali untuk membangun optimisme, kita sendiri harus optimis dan memenuhi syarat-syaratnya. Apakah itu mudah? (*)
Saeful Ramadhan
Penikmat Kopi Saring