Kata Karen Amstrong, “memahami” itu bersifat, inventif (merancang), imajinatif, dan kreatif. Dengan cara dan alat apa kita kini memahami dunia? Apakah cara dan alat yang kita gunakan kini sudah bisa melahirkan rancangan yang kreatif dan solutif bagi permasalahan dunia kini? Atau alat dan caranya sudah tumpul dan tidak memadai lagi untuk kita gunakan? Inilah pertanyaan pertanyaan reflektif dan evaluatif terhadap permasalahan dunia yang kini kita lihat dan rasakan yang tidak bisa dijelaskan lagi secara rasional, tidak bisa lagi dipahami secara imajinatif dan tidak bisa dihayati secara spiritual.
Dari mana, untuk apa, dan akan kemana kehidupan ini? adalah pertanyaan pertanyaan filsafat yang paling tua, kuno, dan abadi yang akan selalu hadir kepermukaan ketika kehidupan sudah tidak menentu dan tidak bisa lagi dijelaskan dan dipahami lagi oleh paradigma yang ada. Dengan kata lain paradigma yang kini menjadi acuan sudah disangsikan validitas dan relevansinya dalam menjelaskan dunia. Ketidak mampuan menjelaskan keadaan, maka jangan diharapkan akan lahir darinya solusi.
Paradigma baru atau cara pandang baru harus segera ditemukan untuk membabat ilalang yang kini menghalangi kehidupan. Sebuah paradigma yang memiliki akar spiritual yang dalam yang bisa menangkap isyarat lahir dan batin kehidupan yang berada dipermukaan bumi ini. Paradigma yang bisa memunculkan kembali nilai – nilai etika atau moral yang tinggi yang seharusnya mengendalikan pergerakan dan perubahan zaman. Kita harus mengembalikan peradaban kepada ruh keagamaan, sebagaimana yang digagas oleh Malik bin Nabi. Agama yang bisa melahirkan rancangan yang kreatif bagi solusi atas permasalahan dunia kini dan disini