Pendidikan Berkarakter bagi Anak Yatim

Headline, Sosok537 views

Oleh: KH. Jalaludin Al Mahali, S.Pd. M.M. Kepala Badan Pengelola Islamic Center (BPIC) Kab. Bogor

Secara bahasa “yatim” berasal dari bahasa arab, yang merupakan bentuk isim fa’il (subyek). Bentuk kata kerja lampau (fi’il madly)-nya adalah “yatama”, sedangkan kata kerja bentuk sekarang/akan datang (mudlori’) “yaitamu”. Adapun bentuk mashdarnya ”yatmu” yang berarti : sedih, kata yatmu bermakna pula “sendiri”. Kata yatim juga bermakna anak binatang semisal sapi yang ditinggal mati induknya, atau terpisah darinya.
Adapun menurut istilah syara’ yang dimaksud dengan anak yatim adalah anak yang ditinggal mati oleh ayahnya sebelum dia baligh. Dalam Qamus Al-Munjid disebutkan bahwa yatim adalah seorang bayi atau seorang anak yang ayahnya meninggal ketika dia belum dewasa (baligh). Semua ahli bahasa telah sepakat bahwa anak yatim adalah setiap anak yang ditinggal meninggal oleh ayahnya ketika dia belum baligh.
Adapun jika ditinggal oleh ibu maka tidak disebut sebagai yatim. Batas seorang anak disebut yatim adalah ketika anak tersebut telah baligh dan dewasa, berdasarkan sebuah hadits yang mencerita kan bahwa Ibnu Abbas r.a. pernah menerima surat dari Najdah bin Amir yang berisi beberapa pertanyaan, salah satunya tentang batasan seorang disebut yatim, Ibnu Abbas menjawab:
وكتبت تسألنى عن اليتيم متى ينقطع عنه اسم اليتم ، وإنه لا ينقطع عنه اسم اليتم حتى يبلغ ويؤنس منه رشد رواه مسلم
Dan kamu bertanya kepada saya tentang anak yatim, kapan terputus predikat yatim itu, sesungguhnya predikat itu putus bila ia sudah baligh dan menjadi dewasa. (HR.Muslim).

Anak yatim mendapatkan tempat yang mulia dalam Islam, hal ini tercermin dari perhatian Islam terhadap mereka. Diantaranya adalah firman Allah ta’ala :

فِي الدُّنْيَا وَاْلأَخِرَةِ وَيَسْئَلُونَكَ عَنِ الْيَتَامَى قُلْ إِصْلاَحُُلَّهُمْ خَيْرُُ وَإِن تُخَالِطُوهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ وَاللهُ يَعْلَمُ الْمُفْسِدَ مِنَ الْمُصْلِحِ وَلَوْ شَآءَ اللهُ لأَعْنَتَكُمْ إِنَّ اللهَ عَزِيزٌ حَكِيمُُ
“….tentang dunia dan akhirat. Dan mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim, katakalah: “Mengurus urusan mereka secara patut adalah baik, dan jika kamu bergaul dengan mereka, maka mereka adalah saudaramu; dan Allah mengetahui siapa yang membuat kerusakan dari yang mengadakan perbaikan. Dan jikalau Allah menghendaki, niscaya Dia dapat mendatangkan kesulitan kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. QS Al-Baqarah : 220

Imam Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini dengan mengisahkan tentang para shahabat Nabi yang merasa berat karena harus memisahkan makanan mereka dengan makanan anak yatim yang menjadi tanggungannya demikian pula masalah minumannya. Maka turunlah ayat ini yang membolehkan untuk berbuat ma’ruf kepada mereka. Termasuk di dalamnya mendidik mereka (anak yatim) adalah salah satu dari bentuk ibadah kepadaNya. Ayat ini juga memberikan petunjuk untuk memuliakan anak yatim dan larangan untuk berbuat aniaya, sewenang-wenang dan menyusahkan mereka.
Intinya adalah bahwa dalam Islam anak yatim sangat diperhatikan baik kebutuhan fisiknya maupun kebutuhan mentalnya. Hal ini diperkuat oleh sabda Nabi Shalala Alaihi Wasalam dalam salah satu haditsnya :
عن أبى أمامة عن النبي صلى الله عليه وسلم قال من مسح رأس يتيم أو يتيمة لم يمسحه إلا لله كان له بكل شعرة مرت عليها يده حسنات ومن أحسن إلى يتيمة أو يتيم عنده كنت أنا وهو فى الجنة كهاتين وقرن بين أصبعيه (رواه أحمد(
Dari Abu Umamah dari Nabi berkata: barangsiapa yang mengusap kepala anak yatim laki-laki atau perempuan karena Allah, adalah baginya setiap rambut yang diusap dengan tangannya itu terdapat banyak kebaikan, dan barang siapa berbuat baik kepada anak yatim perempuan atau laki-laki yang dia asuh, adalah aku bersama dia di surga seperti ini, beliau menyejajarkan dua jari-nya. (HR Ahmad).

Dalam hadits yang lainnya disebutkan secara tegas bahwa beliau akan bersama orang-orang yang mengasuk anak yatim :
أنا وكافل اليتيم فى الجنة هكذا وأشار بالسبابة والوسطى وفرج بينهما شيئا ) رواه البخاري ، كتاب الطلاق ، باب اللعان(
Aku dan pengasuh anak yatim berada di surga seperti ini, Beliau memberi isyarat dengan jari telunjuk dan jari tengah-nya dan beliau sedikit merenggangkan kedua jarinya. (HR Bukhari).

Ketika mendidik anak yatim adalah sebuah bentuk amal mulia, maka menyia-nyiakan mereka adalah suatu bentuk dosa. Allah ta’ala berfirman :
كَلاَّ بَل لاَّتُكْرِمُونَ الْيَتِيمَ
Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya kamu tidak memulia kan anak yatim. QS Al-Fajr : 17

Di antara bentuk tidak memuliakan anak yatim adalah menyia-nyiakan mereka sehingga kehidupan mereka menjadi kekurangan dan diliputi penderitaan. Namun menurut hemat penulis merupakan bentuk tidak memuliakan anak yatim yaitu memberikan kepada mereka model pendidikan yang tidak sesuai dengan karakternya tapi metode pendidikan yang membebani mereka bisa disebut sebagai bentuk tidak memuliakan anak yatim. Dalam ayat yang lainnya disebutkan :
فَأَمَّا الْيَتِيمَ فَلاَتَقْهَرْ
Maka terhadap anak yatim janganlah kamu berlaku sewenang-wenang. QS Adh-Dhuha : 09

Larangan berlaku sewenang-wenang adalah memakan hartanya dengan jalan haram. Selain itu berlaku sewenang-wenang dalam ayat ini juga bermakna memberikan beban pendidikan yang membuat anak yatim tidak nyaman dengannya. Ini adalah bentuk kedzaliman yang nyata, walaupun niatnya adalah untuk membuat anak yatim pintar, namun model pendidikan yang diterapkan justru membebani mereka. Maka telah menjadi kewajiban bagi seluruh umat Islam untuk memuliakan mereka, dan di antara bentuk pemuliaan terhadap mereka adalah memberikan model pendidikan yang selaras dengan kebutuhan dasar mereka. Bagaimana kebutuhan dasar anak-anak yatim?
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Imam (2009) menunjukan bahwa kebutuhan dasar anak yatim meliputi : Kebutuhan akan figur seorang ayah, Kebutuhan pendidikan kemandirian dan kecakapan hidup dan Model pembinaan yang mengarahkan anak yatim pada kematangan mental dan spiritual. Maka pendidikan yang memiliki karakter Islami dengan memfokuskan kepada kebutuhan mereka menjadi sebuah keniscayaan.
Penelitian ini dilakukan di Pesantren Yatim Ibnu Taimiyah Bogor dengan audience santri-santri yatim dari jenjang Madrasah Ibtidaiyyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan Madrasah Aliyah (MA). Hal ini menunjukan bahwa anak yatim memiliki kebutuhan dasar yang berbeda dengan anak pada umumnya, karena penelitian ini dilakukan di pesantren maka tingkat kemandirian anak yatim cenderung lebih tinggi dari pada anak yatim yang tidak tinggal di pesantren. Penelitian kedua dilakukan oleh Abdurrahman (2010) yang melakukan wawancara terhadap beberapa anak yatim di PYIT, hasil yang ditemukan adalah bahwa anak yatim yang ditinggal oleh ayahnya pada umur 0-10 tahun cenderung mendambakan sosok ayah yang dapat dijadikan pengayomnya, sedangkan pada 10-12 tahun cenderung lebih berkurang. Sementara pendidikan anak yatim yang dilakukan oleh masyarakat secara umum lebih mengarahkan pada pembinaan di luar sekolah, yaitu dengan cara menitipkan anak-anak yatim kepada orang tua asuhnya. Walaupun pada beberapa tempat tetap dilaksanakan pembinaan dengan model boarding, namun lagi-lagi kebutuhan dasar yang menjadi karakteristik anak yatim kurang terpenuhi. Karena itu sangat diperlukan sebuah model pendidikan, dalam hal ini kurikulum yang mengarahkan setiap anak yatim untuk dapat memenuhi kebutuhan dasar mereka yaitu kebutuhan akan sosok pelindung (ayah).
Dari sini urgensi pendidikan anak yatim berbasis kecakapan hidup sangat diperlukan, ia menjadi model yang diharapkan memberikan yang terbaik bagi anak-anak yatim. Inilah salah satu bentuk dari memuliakan mereka sebagaimana yang diperintahkan Allah ta’ala dalam kalamNya yang mulia.

ARTIKEL REKOMENDASI

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *