Kemungkaran Struktural

Headline, Opini928 views

Oleh : Yayat Supriyatna
Dalam sebuah hadis, Nabi SAW bersabda: “Barang siapa dari kalian melihat kemungkaran, ubahlah dengan tangannya. Jika tidak bisa, ubahlah dengan lisannya. Jika tidak bisa, ingkarilah dengan hatinya, dan itu merupakan selemah-lemahnya iman.”
Kemungkaran adalah perbuatan yang melanggar norma dan kaidah sosial, sehingga kehidupan menjadi tidak seimbang, kacau, dan rusak. Apakah yang kita lihat dalam kehidupan sosial, politik, dan ekonomi saat ini sudah sesuai dengan norma, etika, moral, atau kaidah sosial yang seharusnya? Bukankah negara atau pemerintah seharusnya memiliki segala kemampuan untuk menjunjung tinggi kaidah-kaidah tersebut? Pemerintah, yang memiliki kekuasaan, juga seharusnya mampu menghentikan segala bentuk tindak kriminalitas dalam segala bentuk dan manifestasinya. Dengan kekuasaannya, pemerintah harus menegakkan keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakat. Jika yang terjadi justru sebaliknya, maka bisa dikatakan bahwa negara atau pemerintahan tersebut sedang mengalami disfungsi.
Menurut Socrates, “orang yang cerdas adalah mereka yang menghindari pilihan yang memiliki konsekuensi merugikan”. Setiap sikap dan perbuatan kita adalah pilihan, termasuk sikap diam. Diam saat melihat kemungkaran sama dengan menyetujui kemungkaran itu terjadi. Jika negara atau pemerintah diam terhadap kemungkaran, padahal mereka memiliki kekuasaan untuk mencegahnya, maka negara atau pemerintahan tersebut berada dalam keadaan lemah, atau bahkan dengan kekuasaan itu mereka justru menciptakan kemungkaran.
Kemungkaran, dengan demikian, bukan hanya masalah individu yang dapat diselesaikan dengan anjuran moral melalui ucapan dan tulisan, tetapi telah menjadi masalah sistemik (struktur) yang harus diatasi melalui kekuatan untuk mengubah dan memperbaikinya. Sayangnya, tangan rakyat masih terlalu pendek dan lemah untuk melakukannya.
Saat ini, kita hanya memiliki suara dan tulisan untuk mencegah kemungkaran terus berkembang dan merusak seluruh dimensi kehidupan. Namun, suara dan tulisan kita sering dianggap angin lalu oleh kekuasaan yang angkuh. Yang tersisa dari perlawanan kita adalah kebencian dalam hati, dan itu adalah selemah-lemahnya iman.
Sampai kapan kita akan membiarkan kelemahan ini terus ada dan dipelihara? Kelemahan pada akhirnya akan menjatuhkan kita dalam keterpurukan dan akhirnya akan membuat kita hina. Sebelum kita semakin terperosok ke dalam rawa sejarah, kita harus menyadari bahwa hanya dengan modal keyakinan, kita bisa bangkit, berdiri, dan melawan keadaan. Hanya orang-orang yang memiliki keyakinan kuat yang mengakar pada prinsip yang benar yang akan bangkit dengan percaya diri dan berani menghadapi tantangan.
Diperlukan tangan-tangan yang kuat dan kokoh untuk bersama-sama menatap masa depan dengan satu visi dan langkah yang sama, menyapu dan menghalau keadaan yang timpang. Sikap ini penting dan mendesak sebagai bentuk bahwa kita masih ada. Inilah kesadaran sejarah yang harus terus dibangun agar bangsa dan negara ini kembali memiliki arah yang jelas dan pasti.

ARTIKEL REKOMENDASI

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *