bogorOnline.com
Tingkat angka perceraian di Kota Bogor kian mengkhawatirkan, bahkan bisa dikatakan cukup tinggi. Tercatat hingga kini ada sebanyak 941 kasus perceraian yang telah di putus oleh Pengadilan Agama Bogor Kelas I A di sepanjang tahun 2017.
Dari data direktori putusan pada Pengadilan Agama Bogor Kelas I A hingga saat ini tercatat sebanyak 1072 putusan perdata agama. Jumlah tersebut diajukan oleh keduanya, baik dari pihak suami maupun isteri.
Menyikapi persoalan ini, pasangan Calon Walikota dan Wakil Walikota Bogor nomor urut 3, Bima Arya – Dedie A Rachim menyiapkan satu program untuk menekan tingginya angka perceraian yaitu Sekolah Ibu. Program besutan Yane Ardian ini sebagai upaya pembangunan ketahanan dan kesejahteraan keluarga di Kota Bogor.
Program ini sinergi dengan visi Bima-Dedie untuk mewujudkan Kota Bogor Sebagai kota yang ramah bagi keluarga sehingga dapat mewujudkan kota yang sehat, mewujudkan kota yang cerdas, dan mewujudkan kota yang sejahtera.
Hal itu disampaikan Bima – Dedie dalam acara Ngawangkong bersama warga Kampung Pabuaran Poncol, RW 5, Kelurahan Kedung Waringin, Taman Cimanggu, Kecamatan Bogor Utara, Kota Bogor pada Ahad (27/5/18) malam tadi.
Dihadiri oleh mayoritas puluhan Ibu Rumah Tangga (IRT), Bima sampaikan mirisnya angka kasus perceraian di kota berjuluk sejuta taman ini. Menurut dia, angka tersebut dapat ditekan dengan program Sekolah Ibu.
“Di KUA tingkat perceraian di Kota Bogor itu tinggi sekali. Ada apa dengan Kota Bogor ini? Kenapa tinggi? Apa yang menyebabkan perceraian bisa tinggi, apa karena ekonomi atau apa gitu? Lantas buat apa kalau sebuah kota itu hebat tetapi rumah tangganya bagai neraka di dunia. Rumah tangganya gonjang-ganing, chaos, bahkan awet rajet. Sebagai pemimpin, tidak hanya membangun fisik tetapi juga non fisik. Makanya kami gagas program sekolah ibu sebagai upaya pembangunan ketahanan dan kesejahteraan keluarga di Kota Bogor,” papar Bima dihadapan warga saat Ngawangkong.
Program Sekolah Ibu, lanjut Bima, merupakan sebuah program satu-satunya yang tidak ada di Indonesia. Menurut dia, melalui ibu-ibu PKK akan dijelaskan bagaimana seorang ibu yang sebenarnya memiliki potensi luar biasa, tanggung jawab yang besar dalam keluarga ditambah wawasannya sehingga menjadi sosok yang tangguh untuk melindungi keluarganya.
“Saya contohkan peran Ibu yang penting untuk keluarga. Sederhana saja, ini handphone yang saya pegang selain banyak manfaatnya, banyak juga mudharatnya. Apalagi anak-anak sekarang sudah pasti punya handphone. Nah peran Ibu setidaknya bisa mengawasi aktivitas anak di dunia maya, minimal didampingi. Nah disitulah pentingnya program sekolah ibu yang bertujuan menambah wawasan para ibu untuk menjaga ketahanan dan melindungi keluarganya,” tuturnya.
Selain itu, suami dari Yane Adrian ini juga mengungkapkan bahaya dari Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) yang bisa diminimalisir dengan program Sekolah Ibu. Dia menuturkan bahwa LGBT serupa dengan virus yang dapat menular dan menjangkit manusia normal.
“Banyak teman-teman saya yang dulu normal, tapi sekarang melambai. Nah itu semua karena pergaulan. Lalu bagaimana cara mengatasi dan menghadapinya. Nah di sekolah ibu itu akan dibekali pengetahuan tentang bagaimana cara mengatasi dan mengetahui ciri-ciri hal itu. Jadi kedengarannya sederhana kota yang ramah bagi keluarga itu, akan tapi sangat dalam maknanya. Immateri dan Materi menjadi modal penting bagi para ibu,” tandasnya.
Program inspiratif ini juga tak hanya dapat meningkatkan pengetahuan dan kemampuan para Ibu dalam rumah tangga. Kaum hawa itu pun berperan penting dalam memanajemen gizi, keuangan, psikolog, dokter, dan guru bagi keluarganya.
Program Sekolah Ibu ini sebelumnya telah dijajal beberapa waktu lalu yang ditenggarai Ketua Tim PKK Kota Bogor Yane Adrian. Sebuah percobaan terhadap realisasi Sekolah Ibu di lingkungan masyarakat dilakukan di Kelurahan Katulampa, Bogor Timur. Kala itu, ada sebanyak 30 orang ibu-ibu ikut andil bagian dalam program ketahanan keluarga tersebut.
Sekedar informasi, data pada tahun 2016 tercatat sebanyak 1.632 kasus perceraian. Sementara di tahun 2015, kasus gugatan cerai di Kota Bogor mencapai 1.528 kasus. Parahnya lagi yang mengajukan atau menggugat cerai itu 70-80 persennya adalah perempuan atau sang istri. (Ist)