BOGOR – Santri menjadi salah satu komponen penting dalam perjalanan bangsa ini. Bahkan, kaum santri dibutuhkan bangsa ini dalam menghadapi era post modern, dimana perkembangan teknologi begitu pesat dan berpengaruh terhadap banyak hal, dari mulai ekonomi, politik, hingga kebudayaan.
Hal tersebuta disampaikan Ketua Forum Kyai Muda Nahdlatul Ulama (FKMNU), KH. Kholid Ar-rifai di acara Rujukan Podcast Kelompok Wartawan DPRD Kabupaten Bogor. Acara hasil kolaborasi antara Rujukan, LDNU, FKMNU, dan Lesbumi NU Kota Tangerang tersebut mengangkat tema Revitalisasi Peran Santri di Era Post Modern.
“Sebelum membahas jauh tentang santri yang selama ini terkesan kolonial dan tradisional dan peran santri di era disrupsi serta post modern harus mempunyai 3 cahaya yaitu cahaya iman, islam dan ihsan,” ujar KH Kholid.
Bila salah satu tidak ada, lanjutnya, maka islam yang bermuatan rahmatan lil alamin tak pernah tercipta, maka perlu di gali makna makna santri tersebut dan merujuk para ulama NU makna santri terdiri dari 4 huruf. “Huruf pertama, Sin yaitu Sabiqul bil khoiroot (Selalu menjadi pelopor dalam kebaikan),” paparnya.
Kemudian huruf Nun, bermakna Naibul Ulama, menjadi penerus dakwah ulama dan siap menjadi pemimpin umat. Huruf Ta’ bermakna Tarikul Ma’aashi, artinya Meninggalkan maksiat dalam hidupnya, baik maksiat lahir dan bathin. “Dan yang keempat ini juga penting, huruf Ra’ yang bermakna Ridhollah atau Ridho kepada Allah dan Ikhlas berjuang dalam menggapai ridho Allah,” katanya.
KH Kholid menambahkan, bila memahamii empat makna itu maka akan timbul santri yang penuh cahaya di era ini yang di mana perubahan terjadi begitu cepat akibat disrupsi, tren perkembangan teknologi juga telah bergeser sehingga perusahaan teknologi digital merajai ekosistem dan ekonomi dunia.
“Oleh sebab itu, santri tidak hanya selain melek ruhani harus juga melek teknologi untuk menghasilkan sumber daya manusia yang unggul. Yang menekankan pada aspek kreativitas, inovasi, dan kewirausahaan, langkah tersebut diharapkan mampu untuk menghadapai tantangan perubahan zaman,” tegasnya KH.Kholid Ar Rifai
Ditempat yang sama, Pengurus Lesbumi NU Kota Tangerang, Kurniawan Nata Dipura menambahkan, di era ini santri senatiasa menjaga tradisi, budaya, dan adat istiadat yang ada tidak bertentangan dengan syariat Islam. Sebab, agama kering tanpa budaya. “Kaidah fiqihnya, al-muhafadzah alal-qadim al-shalih wal-akhdzu bil-jadid al-ashlah. Melestarikan nilai-nilai lama yang baik dan menerapkan nilai-nilai baru yang lebih baik,” kata dia.
Secara etimologis, kata ‘Kebudayaan’ berasal dari bahasa sanskerta, yaitu buddhayah, bentuk jamak dari kata buddhi yang berarti akal atau budi. Menurut ahli budaya, kata budaya merupakan gabungan dari dua kata, yaitu budi dan daya. Budi mengandung makna akal, pikiran, paham, pendapat, ikhtiar, perasaan, sedangkan daya mengandung makna tenaga, kekuatan, dan kesanggupan. “Sekalipun akar kata budaya di derivasi dari akar kata yang berbeda, dapat dikatakan bahwa kebudayaan berkenaan dengan hal-hal yang berkenaan dengan budi atau akal,” kata Kurniawan.
Ketua Lesbumi PCNU Kota Tangerang, Dedi Kirnia, berpendapat, saat ini upacara tradisional merupakan salah satu wujud ekspresi manusia dalam rangka mengungkapkan kehendak atau pikirannya melalui upacara sangat sulit sekali di jumpai. Padahal, dalam upacara terdapat nilai-nilai kehidupan dan budaya yang dimiliki oleh masyarakat serta kearifan lokal.
“Melalui upacara juga akan dapat diketahui pandangan hidup masyarakat dan hubungan mereka dengan lingkungan sekitarnya. sistem religi dan upacara keagamaan merupakan unsur kebudayaan universal yang paling sulit berubah dan paling sulit dipengaruhi kebudayaan lain,” kata Dedi Kurnia
Dedi menambahkan, tradisi dan budaya itu bukan seperti kartu pos pariwisata yang absolut. Dia selalu berkembang karena bersinggungan dengan kekinian. “Kalau tradisi tidak bersinggungan dengan kekinian, ya segera punah, tapi ketika hal itu bersinggung dengan kekinian akan menemukan ruang eksistensinya terus menerus itu yang lebih penting,” tandasnya (*)