BogorOnline.com-CIBINONG
Pemerintah berencana untuk menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) meminta agar pemerintah mengkaji ulang rencana tersebut.
Menurut PMII, naiknya harga BBM akan berdampak buruk bagi masyarakat menengah ke bawah. Sehingga, wajar bila wacana tersebut mendapat penolakan dari masyarakat.
Ketua Umum PB PMII M. Abdullah Syukri menilai perekonomian masyarakat saat ini tidak siap menghadapi kenaikkan harga BBM
“Perekonomian Indonesia belum sepenuhnya pulih dari dampak pandemi covid-19 dan permasalahan harga bahan pokok yang belum stabil. Jangan sampai rakyat Indonesia semakin menderita dengan rencana kenaikan harga BBM bersubsidi” ungkap Abe sapaan akrabnya, dalam keterangannya, Selasa (23/8/2022).
Ketua PC PMII Kabupaten Bogor, Miftahuddin mendayung sambut statement dari Ketum PB PMII M. Abdullah Syukri. Miftahuddin mengkritisi wacana pemerintah menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) subsidi. Sebab kenaikan tersebut, akan berimbas kepada kenaikan harga-harga barang, baik yang berdampak langsung maupun tidak langsung. “Kebijakan ini tentunya akan memiliki dampak yang signifikan bagi kehidupan masyarakat banyak,” kata dia dalam pernyataannya, belum lama ini.
Dia memahami, wacana kebijakan ini tidak bisa dilepaskan dari beban subsidi yang ditanggung pemerintah mencapai Rp500 triliun lebih. Subsidi membengkak ini akibat kenaikan harga minyak di pasar Internasional dan biaya kompensasi yang harus ditanggung pemerintah.
Miff sapaan akrabnya mengungkapkan, bahwa tingginya harga komoditas di pasar internasional telah menyebabkan inflasi secara global di banyak negara. Inflasi tahunan Indonesia sendiri sudah hampir menembus 5 persen year on year (yoy), atau berada pada level 4,94 persen yoy. Bahkan inflasi makanan telah mencapai angka 10,32 persen (yoy). “Jika terjadi kenaikan harga BBM bersubsidi dalam pekan depan, maka bisa dipastikan angka inflasi akan bergerak naik. Dampaknya tentu akan sangat memberatkan bagi kehidupan masyarakat kebanyakan,” Lanjutnya.
Miff juga menyoroti perihal mulai pulihnya kehidupan masyarakat pasca melandainya COVID-19, yang membuat aktivitas ekonomi kembali pulih. Walaupun pertumbuhan ekonomi kuartal I dan II tumbuh sebesar 5,01 persen dan 5,44 persen, masih ditopang oleh tingginya ekspor komoditas, tetapi konsumsi masyarakat juga menunjukkan pergerakan yang signifikan. Kenaikan harga BBM bersubsidi, dikhawatirkan akan memukul kembali daya beli dan konsumsi masyarakat, sehingga berdampak terhadap pemulihan ekonomi yang sedang berlangsung, bahkan pertumbuhan ekonomi dikhawatirkan akan kembali melambat.
Menurutnya rencana kenaikan harga BBM bersubsidi tersebut akan memberikan pengaruh yang besar bagi kalangan dunia usaha, terutama sektor UMKM dan usaha kecil informal lainnya yang seringkali tidak tersentuh oleh program bantuan sosial Pemerintah. Selama ini, sebagian besar sektor UMKM dan informal tersebut memanfaatkan BBM bersubsidi dalam menjalankan usahannya. “Apalagi sebelumnya mereka juga sudah terkena dampak dari kenaikan harga Minyak Goreng. Kenaikan BBM bersubsidi dikhawatirkan akan semakin membuat pengusaha UMKM dan informal lainnya semakin terpuruk, dikhawatirkan angka kemiskinan dan pengangguran akan semakin meningkat,” ungkap Miftah. Oleh karenanya dia meminta pemerintah agar mempertimbangkan proses pemulihan ekonomi yang sedang berlangsung. Pemerintah, kata Miftah, sebaiknya membuat kebijakan pengendalian BBM bersubsidi, dengan membatasi penggunaan BBM bersubsidi untuk kalangan tertentu saja, angkutan umum, sepeda motor dengan cc kecil. “Pemerintah selalu mencari jalan pintas dalam menghadapi tingginya harga energi. Sebagai contoh, sampai saat ini, Pemerintah belum bisa mengendalikan penjualan LPG 3 Kg secara tertutup, sebagaimana amanah konstitusi, akibatnya subsidinya selalu meningkat setiap tahunnya,” jelasnya. Untuk diketahui, subsidi adalah salah satu bentuk keberpihakan pemerintah terhadap masyarakat banyak. Besaran subsidi dan kompensasi energi dalam APBN 2023 bahkan direncanakan sebesar Rp336,7 triliun. Rinciannya adalah Rp210,7 triliun untuk subsidi energi dan Rp126 triliun untuk kompensasi energi. Artinya pemerintah sudah memprediksi harga minyak akan kembali dibawah 100 dolar AS per barel. “Turunnya harga minyak global, tidak lantas membuat harga BBM juga mengalami penurunan. Sehingga masyarakat menanggung beban yang besar dalam menggunakan BBM yang seharusnya disesuaikan dengan harga minyak secara global,” pungkasnya.(rul)