Dualisme cartesian mengajarkan kita tentang dua hal: pertama, hal yang subtansi dan yang kedua, hal yang formal atau prosedural atau dengan kata lain ada isi dan bentuk. Yang subtansi menjadi hal yang penting, sedangkan yang formal menjadi hal yang temporal. Yang subtansi itu bersifat tetap dan sakral, yang temporal bersifat dinamis bisa berubah bentuk tergantung kebutuhan dan tantangannya. Begitupun dengan demokrasi, ada hal yang subtantif yang berbasis pada akal-rasional, etika, moral dan spiritual yang seharusnya mengarahkan dan mengendalikan hal yang formal, temporal, atau prosedural.
Jika, kita meletakan demokrasi kita dalam dua sudut pandang cartesian dimaksud. Apakah demokrasi kita kini disini digerakan oleh ideal-moral yang bertumpu pada nilai, etika, moral, atau spiritual? Atau, demokrasi kita kini dan disini digerakan hanya sebatas legal-formalistik belaka? Pertanyaam filosofisnya adalah, apakah isi yang melahirkan bentuk atau bentuk yang melahirkan isi? Jika isi yang menentukan bentuk, maka bentuk harus bisa menyesuaikan, menyelaraskan dan menyeimbangkannya dengan isi yang melahirkannya. Namun, jika asumsinya bentuk yang melahirkan isi, maka, isi harus menyesuaikan dan menyelaraskan dengan bentuk yang melahirkannya. Siapa yang membuat bentuk itu? Dengan kepentingan apa bentuk itu dibuat?
Dari pandangan diatas, jika kita melihat dan merasakan demokrasi kita, kini sedang berada dalam masa pembusukan, karena isi atau subtansi yang seharusnya menjadi ruh atau jiwa dalam mengendalikan hal yang formal-prosedural justru jinak oleh kepentingan – kepentingan pribadi, keluarga, dan kelompok. Jargon demokrasi berubah menjadi, dari mereka, oleh mereka, dan untuk mereka. Rakyat sebagai pemilik kedaulatan dibajak oleh mereka yang memiliki kuasa atas politik, ekonomi dan hukum.