Pemerintah akan menaikan besaran iuran peserta BPJS Kesehatan. Dengan frase “penyesuaian” Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional Tb. Rachmat Sentika menyampaikan, penyesuaian ini dilakukan sebagai azas keadilan, karena sesuai prinsip BPJS Kesehatan, dengan gotong royong semua tertolong. Adil? Benarkah?
Kenaikan tarif iuran BPJS tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 19 Tahun 2016 dan rencananya berlaku mulai 1 April 2016. Sejak wacana bergulir, banyak sekali penolakan dari kalangan masyarakat. Pemerintah Provinsi Jawa Timur bahkan secara tegas menolak kenaikan tarif dan berencana bersurat kepada Presiden RI Joko Widodo untuk membatalkan Perpres tersebut.
Disela masifnya penolakan kenaikan iuran, pihak BPJS berkilah bahwa penyesuaian iuran tersebut tidak berlaku untuk semua peserta, melainkan hanya untuk peserta yang mampu, yang berasal dari kategori Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) atau peserta perorangan dan Peserta Bukan Pekerja. Pertanyaannya adalah, apakah peserta yang berasal dari PBPU, peserta perorangan, peserta bukan pekerja itu benar-benar masyarakat mampu?
Faktanya, mereka yang mendaftar menjadi peserta perorangan itu kebanyakan dari masyarakat yang tidak kebagian jatah subsidi dari pemerintah. Bukan PNS, TNI/Polri yang iurannya dibantu pemerintah. Bukan juga karyawan perusahaan yang mendapat bantuan dari pihak perusahaan setiap kali bayar iuran. Mereka memang bukan masyarakat kategori miskin sehingga tidak layak menjadi penerima bantuan iuran (PBI) dari pemerintah. Tetapi mereka juga bukan orang kaya yang penghasilannya puluhan juta perbulan. Mereka sebagian besar memaksakan diri karena ingin gotong royong mewujudkan derajat kesehatan orang Indonesia semakin membaik, walau sejatinya kewajiban memberikan pelayanan kesehatan ada pada pemerintah.
Peserta dari kategori PBPU ini mayoritas berlatar belakang wirausaha yang penghasilannya tidak menentu. Pendapatannya pasang surut yang cenderung surut ditengah situasi ekonomi yang masih belum begitu baik. Pemerintah juga perlu ingat bahwa peserta PBPU ini tidak membayar iuran untuk dirinya sendiri, melainkan istri dan juga anak-anaknya yang bukan penerima upah bahkan tidak berpenghasilan sama sekali. Jika rata-rata satu keluarga peserta PBPU terdiri dari satu kepala keluarga, satu istri dan dua orang anak saja, artinya ada empat orang yang harus iuran, dengan tarif saat ini mereka harus merogoh kocek perbulan Rp102 ribu untuk kelas III, Rp170 ribu untuk kelas II dan Rp 238 ribu untuk kelas I. Jumlah yang tidak sedikit. Itupun belum termasuk biaya administrasi Bank sebesar Rp. 2.500 per transaksi.
Dengan kenaikan menjadi Rp 30.000 untuk kelas III, Rp 51.000 untuk kelas II, serta Rp 80.000 untuk kelas I. Beban satu keluarga peserta PBPU menjadi Rp 120 ribu untuk kelas III, Rp204 ribu untuk kelas II dan Rp320 ribu untuk kelas I. Jumlah tersebut sangat berat karena harus rutin setiap bulan diluar pengeluaran yang juga rutin dari mulai membiayai kebutuhan makan sehari-hari, biaya pendidikan anak, cicilan rumah, cicilan kendaraan sampai hal-hal lain seperti iuran kebersihan, keamanan dan biaya sosial lingkungan, yang semuanya cenderung naik dari tahun ke tahun.
Selain itu, mereka juga akan merasa diperlakukan tidak adil, karena kenaikan iuran ini tidak berlaku untuk sebagian besar rakyat yang kalau asal menebak bisa juga dikategorikan masyarakat mampu. BPJS memastikan Peserta Pekerja Penerima Upah (PPU), baik swasta maupun pemerintah, tidak ada perubahan besaran tarif iuran. Untuk PNS/TNI/Polri/pegawai pemerintah non PNS, proporsi iurannya 3% dibayarkan oleh pemerintah dan 2% dipotong dari gaji pegawai. Bagi peserta PPU dari swasta, besaran iurannya juga tetap sama, yaitu 4% dibayarkan oleh pemberi kerja dan 1% dipotong dari penghasilan karyawan.
Bagi iuran masyarakat miskin dan tidak mampu yang masuk dalam kategori peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI), tetap dijamin oleh pemerintah sesuai dengan Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Bahkan saat ini, terdapat 57% peserta BPJS Kesehatan (sekitar 92,4 juta jiwa) yang iurannya ditanggung pemerintah.
Untuk itu, sebelum kenaikan tarif yang katanya berazaskan keadilan ini diberlakukan, pemerintah seharusnya bisa menjelaskan apa landasan yang dijadikan acuan untuk menjustifikasi bahwa peserta dari kategori PBPU adalah masyarakat mampu. Apakah pemerintah pernah mensurvei berapa penghasilan mereka perbulan dan berapa biaya yang mereka keluarkan. Kalau ingin menyasar partisipasi lebih besar dari masyarakat kaya, sebaiknya BPJS membuat kategori baru kepesertaan, misalnya Peserta Bukan Orang Miskin (PBOM) atau lebih spesifik lagi Peserta Orang Kaya (POK), kalau PBPU masih terlalu umum dan sudah pasti isinya bukan orang kaya semua. Mereka lebih banyak masyarakat sadar dan ingin berpartisipasi yang ekonominya masih sekedar pas-pasan.
Saeful Ramadhan
Pemimpin Redaksi