BOGORONLINE.com – Kasus dugaan suap yang melibatkan oknum Komisioner KPU Kota Bogor dan salah satu pasangan calon (Paslon) Wali Kota Bogor menjadi perhatian publik. Dugaan praktik pelanggaran hukum berupa suap dan/atau gratifikasi ini menyeret nama salah satu Paslon melalui perantara keluarganya.
Pengamat Hukum dan Praktisi Hukum Adv. Rd. Anggi Triana Ismail, S.H. memberikan pandangannya terkait kasus tersebut. Menurutnya, sesuai Pasal 1 Ayat 8 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, KPU sebagai lembaga penyelenggara pemilu bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Oleh karena itu, setiap tindakan Komisioner KPU harus sesuai dengan Kode Etik dan Pedoman Perilaku yang diatur dalam Peraturan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
Anggi menjelaskan bahwa jika Komisioner KPU menerima uang dari Paslon, tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai tindak pidana suap. Berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap, pemberi maupun penerima suap diancam hukuman penjara maksimal lima tahun dan denda hingga Rp15 juta.
Selain itu, Pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) menyebutkan bahwa setiap gratifikasi yang terkait jabatan dianggap sebagai suap. Hukuman yang diberikan bervariasi, mulai dari empat tahun hingga penjara seumur hidup, disertai denda hingga Rp1 miliar.
Anggi menekankan bahwa Aparat Penegak Hukum (APH), seperti Kepolisian dan Kejaksaan, harus segera melakukan penyelidikan meskipun tidak ada laporan dari masyarakat.
“Perbuatan yang dilakukan di luar fase pemilu namun disertai bukti transfer uang ke rekening Komisioner KPU jelas merupakan tindakan melawan hukum (Recht Delicten) yang harus diusut tuntas,” tegasnya.
Lebih lanjut, ia menilai bahwa penyelesaian kasus ini tidak boleh terhenti pada ranah etika yang hanya melibatkan DKPP.
“APH harus hadir untuk menindak temuan ini secara serius demi menjaga integritas demokrasi,” Anggi menutup.