Jejak Kerajinan Rajutan Kampung Anyar: Warisan Generasi Pertama yang Bertahan di Cisarua

BogorOnline.com – Kampung Anyar di Jalan Siliwangi, Kelurahan Cisarua, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor, bukan sekadar perkampungan biasa. Sejak era kolonial Belanda, kawasan ini telah menjadi pusat kerajinan rajutan yang diwariskan secara turun-temurun. Hingga kini, tradisi ini masih menjadi sumber penghidupan bagi sebagian warga setempat.

Kerajinan rajutan di Kampung Anyar bermula dari generasi pertama, seperti Bapak Sani dan Mak Umin, yang mulai berjualan sejak zaman penjajahan Belanda. Mereka mengembangkan keterampilan merajut secara mandiri, menciptakan produk berkualitas yang diminati oleh warga lokal dan wisatawan.

Pada masa itu, kerajinan rajutan bukan sekadar keterampilan, melainkan juga strategi bertahan hidup. Berbekal alat sederhana dan benang wol, generasi pertama ini menghasilkan berbagai produk seperti syal, bando, kaus kaki, pakaian, rompi, taplak meja, bed cover, bantal kursi, senderan kursi, tas selempang, dan sarung ponsel.

Produk-produk tersebut awalnya banyak diminati oleh wisatawan asing yang berkunjung ke Puncak. Bahkan, beberapa foto lama yang diambil oleh wisatawan Prancis pada era 1980-an memperlihatkan para pengrajin Kampung Anyar tengah berjualan di pasar dan area wisata Puncak. Foto-foto ini menjadi bukti bagaimana hasil rajutan generasi pertama berhasil menarik perhatian dunia.

Seiring berjalannya waktu, keterampilan merajut diwariskan kepada generasi berikutnya, seperti Umi Mumun Maemunah (67 tahun) dan Umi Ucih (62 tahun). Mereka masih aktif memproduksi berbagai macam produk rajutan dengan teknik yang diwariskan secara turun-temurun.

Umi Mumun mengenang masa kejayaan kerajinan rajutan ketika wisatawan asing masih mendominasi Puncak. “Dulu saya keliling jualan sampai ke Tugu, Kampung Sampay, dan wilayah Puncak. Banyak wisatawan asing dari Amerika dan Eropa yang membeli. Harga rajutan tergantung ukuran, bahkan ada yang mencapai Rp300 ribu per item. Namun, sekarang lebih banyak wisatawan lokal,” ungkapnya.

Yanah Rodianah (45 tahun), yang sejak kecil diajak berjualan oleh neneknya, menambahkan bahwa pasar rajutan kini semakin kompetitif. “Dulu kami bisa menjual langsung ke wisatawan asing di villa-villa. Namun, sekarang banyak yang berjualan dan tidak ada lagi pengepul yang menampung produk kami,” ujarnya.

Titin Maryani (58 tahun) juga memiliki pengalaman serupa. Ia mengingat masa-masa ketika dirinya menawarkan rajutan kepada wisatawan dari Jepang, Belanda, Inggris, dan Amerika hanya dengan bahasa sederhana seperti ‘yes’, ‘no’, dan ‘how much’. Ia bahkan pernah menerima pesanan dari Amerika Latin pada tahun 2015 untuk produk berbahan kulit kayu.

Meskipun tantangan semakin besar, para pengrajin Kampung Anyar tetap berusaha bertahan. Kini, banyak yang mengandalkan pesanan melalui WhatsApp karena sulitnya menjual langsung seperti dulu.

Yanah berharap adanya dukungan dari pemerintah untuk meningkatkan pemasaran produk rajutan lokal. “Semoga ada gerai UMKM khusus untuk kerajinan tangan seperti ini, sehingga kami bisa lebih mudah menjual produk tanpa harus keliling,” harapnya.

Dengan sejarah panjang dan keunikan produknya, Kampung Anyar tetap menjadi pusat kerajinan rajutan di Cisarua. Dukungan dari berbagai pihak sangat diperlukan agar warisan budaya ini terus lestari dan mampu bersaing di era modern.

(Deni)

ARTIKEL REKOMENDASI

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *