95 Persen Balita di Pamijahan Terpapar Kental Manis Sejak Usia 8 Bulan

BOGORONLINE.com – Sebanyak 95 persen balita di Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor, terpapar kental manis sejak usia 8 bulan. Temuan ini berasal dari penelitian yang dilakukan Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) bersama Pimpinan Daerah Aisyiyah Kabupaten Bogor dan Yayasan Abhipraya Insan Cendekia Indonesia (YAICI). Konsumsi kental manis pada balita berisiko terhadap status gizi dan meningkatkan potensi penyakit tidak menular.

Ketua tim penelitian, Prof. Dr. Tria Astika Endah Permatasari, SKM., MKM., mengungkapkan bahwa penelitian ini dilakukan terhadap 100 responden yang tersebar di empat desa, yaitu Cibitung Wetan, Cibitung Kulon, Ciasihan, dan Cibunian. Pamijahan sendiri merupakan wilayah dengan angka stunting tertinggi kedua di Kabupaten Bogor, dengan 502 kasus stunting pada tahun 2024.

Penelitian yang dilakukan pada Februari 2025 ini menemukan bahwa frekuensi konsumsi kental manis cukup tinggi di kalangan balita. Sebanyak 27 persen balita mengonsumsi kental manis lebih dari dua kali sehari, 36 persen dua kali sehari, dan 36 persen satu kali sehari. Sementara itu, 1 persen diberikan hanya saat anak meminta.

Dalam satu takaran saji, kental manis mengandung 40 gram gula. Berdasarkan data penelitian, 63 persen balita mengonsumsi gula melebihi batas harian yang dianjurkan American Heart Association, yaitu 25 gram per hari.

Dokter spesialis anak dari RS Palang Merah Indonesia Bogor, dr. Satrio Bhuwono Prakoso, Mked, Sp.A, menegaskan bahwa tingginya kadar gula dalam kental manis dapat menyebabkan berbagai masalah kesehatan, salah satunya adalah gangguan gigi.

“Gula dalam kental manis dapat menyebabkan kerusakan gigi dan meningkatkan risiko penyakit metabolik di kemudian hari,” ungkap dr. Satrio, Rabu (19/3/2025).

Senada dengan itu, Kabid Kesmas Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor, dr. Intan Widayati, MA, menyebut bahwa konsumsi kental manis dapat memicu stunting karena anak menjadi kenyang dan enggan mengonsumsi makanan bergizi lainnya.

“Stunting terjadi karena anak tidak mendapatkan asupan gizi dan mikronutrien yang cukup,” jelas dr. Intan.

Ketua Majelis Kesehatan PDA Kabupaten Bogor, Lina Marlina, menyoroti faktor akses dan edukasi masyarakat sebagai penyebab utama konsumsi kental manis di kalangan balita.

“Banyak warung hanya menyediakan kental manis dan menganggapnya sebagai susu. Saat orang tua mencari susu untuk anak, mereka diberikan kental manis. Ini adalah kesalahan kolektif, bukan hanya karena kurangnya edukasi orang tua, tetapi juga akibat lingkungan dan media yang kurang memberikan informasi yang benar,” ujar Lina.

Lina menambahkan bahwa kondisi ini perlu segera ditangani serius, mengingat Kabupaten Bogor memiliki persentase usia produktif sebesar 70,79 persen berdasarkan data BPS 2024. Jika gizi anak tidak terpenuhi sejak dini, maka bonus demografi yang diharapkan justru berisiko menjadi beban bagi negara.

Sekjen YAICI, Satria Yudistira, menegaskan bahwa penelitian ini bertujuan untuk mendukung upaya pengentasan gizi buruk dan stunting di Indonesia. Sejak 2018, YAICI secara konsisten berkolaborasi dengan akademisi untuk meneliti persepsi dan kebiasaan konsumsi kental manis di masyarakat.

“Hasil penelitian ini diharapkan menjadi pijakan bagi pemangku kebijakan dalam menentukan langkah konkret untuk mengawal penurunan angka stunting dan memperbaiki status gizi anak,” jelas Satria.

Selain UMJ, berbagai universitas seperti Universitas Indonesia (UI), Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Universitas Airlangga (UNAIR), dan Universitas Negeri Semarang (UNNES) juga telah turut serta dalam penelitian mengenai konsumsi kental manis. Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya literatur dan menjadi dasar bagi perbaikan kebijakan kesehatan anak di Indonesia.

ARTIKEL REKOMENDASI

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *