BOGORONLINE.COM – Ketua Komite Advokasi Hukum Nasional Indonesia (KANNI) Kabupaten Bogor, Haidy Arsyad, angkat bicara terkait penyegelan tempat wisata Hibisc Fantasy yang dikelola PT Jaswita Jawa Barat di kawasan Puncak, Cisarua, belum lama ini.
Menurut Haidy, ada indikasi kuat pelanggaran hukum yang harus segera ditindaklanjuti oleh pihak berwenang.
“Kasus ini menunjukkan adanya ketidakpatuhan terhadap regulasi yang berlaku, baik terkait lingkungan hidup maupun tata ruang. Penerbitan izin dan pengoperasian tempat wisata ini diduga melanggar Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) serta Peraturan Presiden Nomor 60 Tahun 2020 tentang Penataan Ruang Kawasan Jabodetabek-Punjur,” ujar Haidy kepada wartawan, Senin (16/12/2024).
Menurut Haidy, berdasarkan UUPPLH, setiap kegiatan usaha yang berdampak pada lingkungan harus memiliki izin lingkungan sebagai syarat utama sebelum penerbitan izin usaha lainnya.
Ia menilai, bahwa pembukaan dan operasional Hibisc Fantasy tanpa izin yang lengkap merupakan bentuk pelanggaran serius.
“Kawasan Puncak adalah area konservasi yang harus dijaga kelestariannya. Membabat lahan perkebunan teh di kawasan ini tanpa izin yang memadai jelas melanggar Pasal 36 ayat (1) UUPPLH, bahkan juga bertentangan dengan fungsi kawasan sebagaimana diatur dalam Perpres Nomor 60 Tahun 2020,” tegas Haidy.
Haidy juga menyoroti penerbitan Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) oleh Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bogor melalui dinas terkait yang diduga tidak sesuai prosedur.
Bahkan, ia mengungkapkan adanya indikasi gratifikasi dalam proses penerbitan PBG tersebut.
“Jika benar ada oknum pejabat yang menerima atau meminta gratifikasi untuk melancarkan penerbitan PBG, maka itu melanggar Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ini harus diusut tuntas oleh aparat penegak hukum,” katanya.
Lebih lanjut, Haidy mendukung langkah Pj. Bupati Bogor, Bachril Bakri, yang langsung menyegel kawasan wisata tersebut.
Ia juga menegaskan, tindakan ini sebagai langkah tegas yang perlu diikuti dengan penegakan hukum yang menyeluruh.
“Penyegelan adalah langkah awal yang tepat, tetapi tidak boleh berhenti di situ. Aparat penegak hukum, seperti Kepolisian dan Kejaksaan, harus melakukan penyelidikan terhadap dugaan pelanggaran perizinan dan gratifikasi dalam kasus ini,” imbuh Haidy.
Haidy juga mendesak, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Barat untuk mengevaluasi pengelolaan PT Jaswita Jabar sebagai BUMD miliknya itu.
Menurutnya, pelanggaran seperti ini mencederai kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah daerah.
“Kami meminta Pemerintah Provinsi Jawa Barat transparan dan mengambil langkah tegas terhadap PT Jaswita Jabar agar kasus seperti ini tidak terulang. Lingkungan hidup dan tata ruang bukan sesuatu yang bisa dikompromikan demi kepentingan bisnis,” tutupnya.
Diketahui, kasus penyegelan Hibisc Fantasy ini menjadi perhatian publik setelah Pemerintah Kabupaten Bogor menemukan bahwa kawasan wisata tersebut kembali beroperasi meskipun sebagian besar izinnya belum rampung.
Penegakan hukum dalam kasus ini dinilai sebagai ujian bagi komitmen pemerintah terhadap perlindungan lingkungan hidup dan tata ruang.