Oleh: Djumriah Lina Johan
(Praktisi Pendidikan dan Pemerhati Sosial Ekonomi Islam)
Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto mengakui penyerapan anggaran penanganan pandemi virus Corona di sektor kesehatan masih rendah. Ia bilang hal itu karena jumlah pasien yang masih sedikit. “Kalau penyerapan kurang kan berarti pasiennya sedikit. Santunan juga kalau penyerapannya kurang berarti yang meninggal sedikit, untuk tenaga kesehatan,” ungkap Terawan dalam Rapat Badan Anggaran melalui video conference, Rabu (15/7).
Menurutnya, serapan anggaran penanganan pandemi virus Corona di sektor kesehatan akan banyak jika jumlah pasien yang sakit dan tenaga medis yang meninggal lebih banyak. Dengan kata lain, penyerapan anggaran akan bergantung dari perkembangan kasus penularan virus Corona. (CNNIndonesia.com, Rabu, 15/7/2020).
Diksi pasien sedikit sehingga anggaran terserap pun sedikit cukup membuat geram warganet. Bagaimana tidak? Di tengah wabah penyebaran virus Covid-19 yang hingga kini (15/7) menyentuh angka 80.094 kasus positif dan lebih dari ratusan tenaga kesehatan baik dokter dan perawat syahid. Dari mananya pak Menkes melihat pasien sedikit? Tentu ini sangat mengusik dan butuh untuk dikritisi.
Pertama, dari segi fakta. Fakta kasus Covid-19 yang hari demi hari meningkat tajam padahal sudah menjadi rahasia umum bahwa data tersebut sudah dipermainkan. Sehingga diksi pasien sedikit sungguh memperlihatkan pemikiran dan sikap pemerintah akan ketidakpedulian mereka kepada nasib, keselamatan, kesehatan, dan nyawa rakyat.
Kedua, dari segi anggaran. Rendahnya anggaran terserap nyatanya akibat berbelit-belitnya birokrasi di negeri ini. Hingga sering kita dapati pemberitaan insentif tenaga kesehatan yang belum juga cair. APD kurang, fasilitas kesehatan kurang lengkap dan memadai, bahkan kekurangan staf tenaga kesehatan.
Jika memang anggaran besar dan belum terserap barang sepuluh persen pun. Bukankah lebih baik dana tersebut segera dibelanjakan RT-PCR yang banyak hingga mencukupi kebutuhan skrining penduduk negeri ini? Bukan hanya membeli rapid test yang murah dan tidak berguna karena kurang akurat. Dan jikalau anggaran masih juga berlebih, alangkah lebih baik untuk digunakan memenuhi fasilitas kesehatan negeri yang yang jauh tertinggal dari negara maju lainnya.
Kemudian, tambah pula tenaga kesehatan dari dokter, perawat, dan staf pendukung lainnya. Rangkul pula rumah sakit swasta sebagai rumah sakit rujukan Covid-19 yang biayanya ditanggung 100% oleh pemerintah. Bagi para pasien positif yang merupakan kepala keluarga atau tulang punggung keluarga, beri jaminan pemenuhan kebutuhan pangan yang halal, bergizi, dan berkualitas. Tak lupa insentif sebagai ganti nafkah yang tak diberikan oleh kepala keluarga yang sedang sakit.
Maka dijamin anggaran sekarang akan habis dan terbukti kurang. Sebab, sejatinya negara ini beserta para penguasanya tak benar-benar maksimal bertanggung jawab pada rakyat. Dana kesehatan untuk Covid-19 pun sejatinya kurang. Tetapi masih saja berkilah cukup hingga Desember 2020.
Ketiga, peluang terjadinya korupsi pada dana penanganan Covid-19. Adanya diksi kontroversial tersebut juga dapat diindikasikan ada upaya untuk mengamputasi anggaran kesehatan. Apalagi dengan adanya payung hukum Perppu No. 1 Tahun 2020 tentang Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19. Terutama pada pasal 27 ayat 1 dan 2.
Pasal ini memungkinkan oknum pejabat menyelewengkan uang negara untuk penanganan Covid-19. Segala tindakannya pun tak digolongkan sebagai kerugian negara sehingga tidak bisa dituntun secara pidana dan perdata. Sungguh sangat rapi, terencana, tersistematis, dan sah di mata dunia.
Keempat, kejahatan struktural ini sejatinya berakar pada sistem Demokrasi Sekuler. Sistem Demokrasi lahir dari akal manusia yang terbatas menyebabkan kerusakan di segala lini kehidupan. Dalih dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat hanyalah pemanis buatan. Klaim teorinya benar dan yang salah adalah oknum para pejabat pun tidak bisa diterima oleh nalar. Sebab, kesalahan tersebut memang bermuara dari Demokrasi itu sendiri yang menghilangkan peran Sang Pencipta, Allah SWT sebagai Sang Pembuat Hukum.
Hal ini pun disempurnakan dengan landasan Sekularisme yang menjadikan agama hanya mengatur perkara ibadah saja. Tidak boleh masuk ke ranah politik pemerintahan, hukum, dan lain-lain. Walhasil, perpaduan keduanya telah memberikan kehidupan rakyat bagai neraka yang tidak hanya penuh onak berduri tetapi juga rasa sakit dan penderitaan yang sangat berat.
Dengan demikian, hanya dengan kembali kepada Islam sebagai sistem saja yang akan mampu mengeluarkan rakyat dari kepedihan hidup ini. Sebab, Islam adalah agama sekaligus ideologi yang sesuai dengan fitrah manusia, memuaskan akal, dan menenteramkan hati. Sehingga wajar tersemat Islam Rahmatan Lil ‘Alamin. Inilah janji Allah SWT di dalam kitab-Nya bagi orang-orang yang yakin. Wallahu a’lam bish-shawab.