Masihkah dalam tahiyat kita subuh tadi, hati kita masih mendongkol dendam dengan saudara kita sesama muslim. Gigi geraham kita beradu dalam lantunan tahlil dan tahmid kita.
Kita tidak akur, kita saling curiga antar sesama, antar kelompok Islam, antar organisasi Islam dan antar mazhab. Kita terkotak-kotakan dalam pemahaman cabang, dalam politik dan dalam fashion.
Definisi ummat pun semakin terpecah dan tolak ukurnya dukungan politik yang mengklaim representasi ummat Islam. Kita tak bisa senyum dengan saudara kita sendiri.
Ukhuwah kita terkabuti pragmatisme pribadi, ambisi-ambisi hingga saling menuding dan menyalahkan. Aktivis dakwah berebut jamaah di kampus, para ormas Islam berebut pengaruh di Mesjid-mesjid perumahan.
Padahal sejarah pernah membuktikan bahwa bahwa Islam pernah di cobak-cabik tentara Salib hingga darah di Masjidil Aqsa setinggi mata kaki, itu bukan karena pasukan salib kuat, pasukan salib tinggal melakukan tugas selanjutnya.
Semua itu karena internal ummat Islam yang hancur saat itu, keadaannya hampir mirip dengan saat ini. Ukhuwah Islamiyah berantakan, masing-masing memikirkan dirinya sendiri. Perpecahan antar mazhab sampai ada bentrokan antara pemgikut mazhab Hambali dan pengikut mazhab maliki di dalam Mesjid, ulama lebig senang mengeluarkan fatwa yang menguntungkan penguasa agar mendapatkan jabatan Hakim.
Kita perlu melihat saudara kita sebagai muslim bagaikan tubuh kita, dan kita harus menghilangkan benci kita ke mereka dan ubah menjadi Cinta. Bukankah kita diperintahkan saling mencintai sesama muslim dan tidak boleh saling membenci.
Kita harus melihat muslim dalam sajak puisi sutardji ” yang tertusuk padamu, berdarah padaku”.
Tugas kita sebagai ummat mungkin yang pertama bukan program-program yang luar biasa, tapi senyum dulu pada saudara kita dan saling mencintai.
Mari kita manifestasikan sajak sutardi itu di hubungan dengan saudara kita yang muslim. (ANC)