CIBINONG- SILPA (Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran). Itu telah menjadi momok bagi Pemerintah Kabupaten Bogor, setidaknya dalam dua tahun terakhir. Bagaimana tidak, pada Tahun Anggaran 2014, sisa uang yang cenderung negatif atau tidak terserap, mencapai Rp 1,1 triliun. Sedangkan di tahun 2015, angka itu justru membengkak menjadi Rp 1,3 triliun.
Ini tentunya menjadi pertanyaan besar. Bupati Bogor, Nurhayanti pun kerap menghindar jika ditanyakan soal serapan anggaran tiap tahunnya. Untuk tahun 2016 saja, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani hingga menunda Dana Alokasi Umum (DAU) terhitung mulai September hingga Desember sebesar Rp 347 miliar. Selain melihat pada neraca keuangan negara yang sedang kembang kempis, kebijakan itu juga dikeluarkan karena Pemkab Bogor masih dianggap mampu memenuhi kebutuhan belanja gaji dan tunjangan pegawainya hingga akhir tahun. Bagaimana tidak. Jatah DAU tahun ini, Bumi Tegar Beriman dijatah Rp 1,97 triliun. Namun, hingga minggu pertama Agustus, masih menyisakan Rp 1,7 triliun.
Menurut Kepala Dinas Pengelolaan Keuangan dan Barang Daerah (DPKBD) Kabupaten Bogor, Rustandi DAU itu masih bisa dicairkan nanti di akhir tahun anggaran. Namun, itu pun melihat pada realisasi serapan anggaran di sisa empat bulan tahun berjalan.
“Sifatnya penundaan. Nanti bisa dicairkan kok di akhir tahun anggaran. DAU itu, dari Rp 1,97 triliun, 60 persennya untuk belanja gaji dan tunjangan pegawai. Lalu, Menkeu melihat saldo kas kita (Kabupaten Bogor, red) masih mencukupi hingga akhir tahun,” kata Rustandi.
Namun ungkapan Menteri Sri Mulyani dan Rustandi tidak sejalan saat melihat Kabupaten Bogor masih mengalami defisit hingga Rp 288 miliar dalam Kebijakan Umum Perubahan APBD (KUPA) 2016.
Namun, bagi sebagian pemerhati tata kelola pemerintahan, itu merupakan buntut dari lemahnya tata kelola keuangan di Kabupaten Bogor. DAU yang kurang dari Rp 2 triliun dan sebagian besar untuk gaji dan tunjangan pegawai saja lambat terserap, bagaimana dengan nasib APBD yang setidaknya lebih dari Rp 5 triliun dan asa ratusan paket pekerjaan fisik dianggarkan didalamnya.
Namun, pandangan-pandangan itu coba dimentahkan oleh Ketua DPRD Kabupaten Bogor, Ade Ruhandi. Menurutnya, pemerintah pusat juga berperan dalam bengkaknya SILPA di wilayah berpenduduk 5,4 juta jiwa.
Politisi Golkar itu mengungkapkan, selain SILPA positif atau hasil dari efisiensi penggunaan anggaran, ada juga bantuan dana dari pemerintah pusat maupun provinsi yang tidak terserap lantaran tidak adanya nomenklatur atau perencanaan di daerah.
“Kalau di daerah tidak terserap, saat kami mau kembalikan uangnya, mereka tidak mau. Karena takut jadi SILPA di neraca keuangan mereka. Jadi, ya karena itu sudah ada di kas kita, jadi SILPA ada di kita,” kata pria yabg akrab disapa Jaro Ade itu, Kamis (26/8).
Ia memberi contoh seperti Dinas Pendidikan yang mendapat Dana Alokasi Khusus (DAK) dan tidak terserap. “Ya karena nomenklaturnya salah. Karena pemerinaj daerah juga ingin menyelamatkan anggaran. Daripada tidak sesuai peruntukkannya, lebih baik tidak diserap. Hasilnya, SILPA membengkak,” katanya.
Soal bantuan-bantuan keuangan ini, Bupati Nurhayanti bahkan sempat berujar jika akan menolak jika akan diberikab. Ia berkaca pada tahun 2015 lalu. Saat Pemerintah Provinsi DKI menyalurkan bantuan sekitar Rp 60 miliar, untuk beberapa program kegiatan, namun baru diterima pada triwulan ketiga tahun anggaran. Jadi, ia merasa kesulitan untuk menyerapnya. Karena program yang disiapkan berupa pengadaan barang dan jasa yang perlu proses lelang.
Melihat ungkapan Jaro Ade, pengamat ekonomi dari STIE Kesatuan Bogor, Saefudin Zuhdi menilai, Pemkab Bogor harus bisa menyatakan sikap tegas apabila bantuan-bantuan yang diterima, tidak sesuai peruntukkannya atau tumpang tindih dengan APBD sendiri.
“Biasanya, anggota DPR RI dari Dapil Bogor, mengusulkan anggaran tanpa sepengetahuan pemerintah daerah. Jadi, lebih baik Pemkab Bogor berkoordonasi dengan pemerintah pusat. Jadi nanti pakai bantuan pusat saja tidak perlu lagi dianggarkan dalam APBD. Tapi memang, kadang bantuan pun datang di akhir-akhir tahun anggaran jadi sama saja. Tidak terserap juga,” tukasnya. (cex)